Minggu, 17 April 2011

Tengah malam


Ditengah malam ini, daku gelisah. Gitar yang kuambil dari 10 menit yang lalu belum satupun senar berbunyi. Dia masih berdiam menunggu aba-aba dari ku untuk bernyanyi. Seluruh kabut yang tadinya masuk ke kamarku lewat jendela yang memang sengaja kubuka semenjak matahari terbenam, kali ini sudah menganggap kamarku seperti rumah mereka sendiri. Udara dinginpun menggigitku sampai kedalam tulang, tak inginku kututup jendela jadah yang memberi ruang bagi para selingkuh untuk menusuk-nusukku. Ya, aku menunggu seorang bidadari, dia telah menjanjikan untuk datang pada malam berkabut tebal saat bulan menampakkan cahaya purnamanya dengan sangat pucatnya. Dia mengucapkan janjinya saat terakhir ku melihatnya sebelum dia pergi termakan malam gelap nan pekat, dia meninggalkan bercak darah di genggaman tanganku yang sampai saat ini belum kucuci karena kuingin menagih janjinya untuk datang menemuiku. Dia berjanji, aku yakin tidak bermimpi saat mendengarnya, noda darah ini buktinya. Kumenantinya dengan sabar. kumelihat jam, tak membantu. Malam sudah terlalu larut, kemanakah dia? menit demi menit berlalu dengan menghapus asa yang semakin menipis ini, aku menanti dan menanti. Sampai kehangatan sinar mentari pagi membangunkanku dari tidur tak bermimpi. Jendela masih terbuka, dan entah kenapa kututup segera dengan kecewa. Sampai pada akhirnya kusadari bahwa noda darah di telapak tanganku telah hilang terbersihkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar