Selasa, 30 Oktober 2012

Menua, Mendewasa, namun Tetap Berjiwa Muda??


Berikut adalah tulisan saya yang berisikan unek-unek saya tentang berlebihannya orang Indonesia (ga semuanya sih) memandang penambahan usia, ya harus gini lah, ya harus gitu lah, entah dari mana mereka mendapatkan pakem seperti itu dan tanpa berpikir lebih dalam langsung menganggapnya sebagai suatu kebenaran. Dan kapan pakem itu muncul? entahlah.

Tulisan ini juga tidak akan saya promosikan di facebook atau twitter, karena memang bukan ditujukan untuk banyak orang yang ga mempunyai cukup nasib untuk membacanya, tapi juga ga akan saya simpen buat diri saya sendiri juga di dalam buku diary. Jadi adalah nasib mujur jika anda kebetulan terdampar di blog ini, trus pas baca postingan ini dan menganggapnya sebagai sebuah masukan berharga dalam hidup anda. Boleh juga anda menganggapnya sebagai suatu kesialan, ketika membaca sebuah ide yang sangat tidak sesuai dengan cara pandang anda atau tidak dapat sedikitpun masuk kedalam pakem yang sudah sangat tertanam dalam diri anda, mungkin buang-buang waktu untuk anda untuk membacanya. Jadi semua kembali kepada anda dan nasib anda.

Menjadi tua, menjadi dewasa, menjadi berjiwa muda. Saya mempunyai cara pandang sendiri(tapi tidak berani mengatakan berbeda karena sangat mungkin ada manusia lain di dunia ini yang memiliki cara pandang sama) dalam memandang ketiga poin tersebut. Ketika banyak orang berkata, tua itu pasti dan dewasa itu pilihan. Maka saya akan berkata (dengan lantang) bahwa Tua itu pasti, dan menjadi dewasa adalah HARUS! berjiwa muda adalah pilihan. 

Landasan berpikirnya adalah, jika kedewasaan adalah sebuah pilihan maka menjadi tidak dewasa adalah sesuatu yang wajar? menurut saya (pribadi) sih tidak. Kedewasaan adalah sebuah proses yang diperoleh dengan berjalannya waktu, sangat sulit untuk menjadi dewasa tanpa menjadi tua. Walaupun ada orang yang berusia lebih muda mampu bersikap lebih dewasa dibandingkan dengan orang lain yang lebih senior darinya. Namun, kedewasaan memang tidak dapat dipaksakan, namun bisa diusahakan. Melihat orang berusia banyak yang tidak dewasa dalam memandang suatu masalah hanya akan menimbulkan kemuakan bagi yang melihatnya, termasuk saya. Saya sendiri selalu menganggap diri masih berproses menuju kedewasaan, namun saya tidak akan mentolerir jika diri saya tidak pernah menjadi dewasa. Menjadikan kedewasaan sebagai suatu pilihan adalah sesuatu yang salah kaprah karena hal ini berarti kita mentolerir adanya ketidakdewasaan di masyarakat sana. Namun yang namanya keharusan tentu masih ada saja pihak yang tidak melaksanakannya, berbeda dengan menjadi tua yang merupakan suatu keniscayaan, dewasa sebagai suatu keharusan seharusnya memang lebih mengikat dibandingkan hanya dengan menjadi pilihan.

Lalu bagaimana dengan pola masyarakat kita dalam memandang kedewasaan? beberapa orang yang menurut saya salah kaprah lagi-lagi memaksakan pandangannya bahwa menjadi dewasa adalah menjadi kurang beraktifitas fisik, mengurangi ide-ide liar, menjadi lebih pendiam, dan pada akhirnya menasehati "sudahlah, inget umur, udah harus dewasa, ga usah surfing lagi.. " 

Sungguh menggelikan mendengarnya. Ketika kedewasaan diartikan juga dengan jiwa yang menua, yang berarti menjadi dewasa dengan berjiwa muda itu sangat bertolak belakang. Menjadi dewasa berarti meninggalkan naik gunung, surfing, freediving dan menggantinya dengan bulutangkis, tenis, dan sebagainya. Saya suka seluruh olahraga, namun menurut saya, tenis masih bisa saya lakukan saat saya berusia 50 tahun ke atas nanti. Kita tidak bisa melawan umur, karenanya 30 tahun bahkan 40 tahun usia yang terlalu muda untuk beralih ke olahraga minim adrenaline. Tentunya pandangan saya tidak harus berlaku kepada semua orang, hanya ditujukan bagi para penganut paham kedewasaan = penuaan jiwa.

Hal ini tentu saja akan berpengaruh ketika (kalau mau) memiliki keturunan kelak, tahu kenapa para anak terkadang lebih dekat kepada teman-teman sebayanya dibanding orang tuanya? Karena orang tua mereka sudah berjiwa tua! frekuensinya jauh berbeda dari anaknya. Dan berani taruhan bahwa mayoritas masyarakat memandangnya sebagai suatu kewajaran. Menurut saya? Nggak! Minoritas hubungan orang tua-anak yang saya lihat asik adalah ketika orang tua nya mampu mendewasa dengan baik tanpa kehilangan jiwa mudanya. Hal ini yang membuat para anaknya betah untuk berada didekat orang tuanya, karena frekuensi pergaulan bapak-ibunya meluas seiring pertambahan usia bukan malah bergeser.

Memang yang gampang adalah membiarkan diri kita untuk menua dan menyerah pada hormon sambil menunggu mati, namun setiap kemudahan akan ada konsekuensinya. Apa yang kita tanam hari ini adalah buah di keesokan hari. Jika suatu hari nanti kita semua merasa sudah bahagia dan merasa congkak akannya, coba lihat kehidupan kita dalam lingkup yang lebih luas maka dijamin akan kita temukan banyak kekurangan yang ada dalam kehidupan kita. Apa yang akan kita keluhkan dikemudian hari adalah buah dari kehidupan dan pilihan yang kita buat hari ini. Silahkan menjadi tua, jiwa dan raga anda. Silahkan anda mendewasa dengan cara anda sendiri. Namun harus anda ketahui bahwa banyak cara untuk mendewasa tidak melulu hanya berdasarkan pakem yang berlaku di masyarakat banal ini. 

Lalu salahkah jika seorang manusia menua, dan mendewasa, namun tidak berjiwa muda?? Tidak. tidak salah dengan hal itu, karena ukuran benar salah hanya ada pada unsur pertama dan kedua. Menjadi tidak tua? berarti ada yang salah dengan struktur biologisnya, cacat! Menjadi tidak dewasa? ini salah total, selamanya bersikap layaknya anak-anak. orang seperti ini ga layak punya keturunan. Berjiwa muda? hal ini hanya akan mempengaruhi kadar "keasyikan" hidup anda dan bagaimana orang-orang disekeliling anda memandang anda. Tidak berjiwa muda it's oke.. silakan, tapi menurut saya hal itu tidak asik karena sangat biasa, dan mungkin anak cucu kita akan bosan sama kakek neneknya. Namun orang tua yang berjiwa muda adalah makhluk langka yang keberadaannya akan selalu dicari dan dinantikan.

Mendewasalah dan perluas khasanah kehidupan anda, jangan tinggalkan hobi masa muda anda hanya karena alasan menjadi dewasa, karena hal itu akan sangat berguna bagi pergaulan anda dengan anak anda kelak. Dan satu lagi, jangan biarkan gunung-gunung di Indonesia hanya dijelajahi oleh manula-manula bule asing, pertanyaan yang timbul adalah kemana para manula-manula pribumi berada??? duduk di teras sambil minum teh dan gorengan sambil dengan congkak dan bangganya bercerita pada anak cucunya, "dulu saya pernah mendaki" , "tahun segini saya bisa finis ikut lomba...", percayalah akan lebih menarik dan memberi teladan bagi cucu kita kelak jika mereka mendengar "minggu lalu kakek baru ikut lomba olympic triathlon dan finish di urutan 123" atau "besok nenek mau naik gunung rinjani 4 hari, mau ikut??" terdengar jauh lebih bagus kan. satu lagi, berjiwa muda ga harus memakai ukuran aktifitas fisik kok, cuma disini saya kebetulan menggunakan variabel kegiatan fisik aja sebagai salah satu contohnya. Definisikan jiwa muda menurut diri kita masing-masing, dan pertahankan hal itu. 

Tua itu Pasti
Dewasa itu Harus
Berjiwa Muda itu Pilihan

PS. Saya pun masih berjuang untuk mewujudkannya.

Senin, 22 Oktober 2012

Secangkir kopi pagi ini

kupi gw tinggal sedikiit..

Terbangun pukul 03.30 dengan kondisi badan yang sedang kurang sehat ditambah beban pikiran untuk menyelesaikan konsep skripsi sesuai dengan keinginan dosen pembimbing. Tapi sejenak gw singkirkan dulu topik skripsi dari tulisan kali ini karena dia telah menyita waktu gw untuk membaca berbagai esai dan jurnal yang membuat pagi gw dengan cepat menjenuh dari sebuah keadaan pagi yang ideal. Oke, kembali soal kopi. Pagi ini gw minum Top Kopi yang kata bang Iwan Fals adalah kopinya Orang Indonesia, ga tau orang indonesia disini semua WNI termasuk gw atau OI - fanbase nya dia, yang gw seduh adalah kopi hitam plus gula sachetan. Sebetulnya bukan kebiasaan rutin gw buat mengkonsumsi kopi di pagi hari, tapi berhubung gw lagi kurang sehat maka banyak orang ahli mengatakan "dengarkan tubuhmu sendiri", maka karena pagi ini rasanya fokus gw kok kurang tajam maka gw putuskan (setelah bersepakat dengan tubuh) untuk minum kopi panas. Keterbatasan pilihan cepat membuat gw memilih kopi hitam, sempat tergoda untuk mencoba "kopi banci" yang biasa dikonsumsi para kaum urban di pagi hari. Buat yang belum tau, kopi banci adalah istilah yang gw dapet dari buku filsafat kopi nya dewi lestari yang merupakan komposisi dari 1 (sendok teh) kopi instan, 2 gula pasir, 3 non-dairy cream. Namun dalam perkembangan selanjutnya gw menyebut semua kopi instan sachetan yang dipersenjatai dengan cream sebagai "kopi banci", dan gw lumayan rutin juga mengkonsumsinya. Namun pagi ini pilihan jatuh pada "kopi jantan" walaupun tadi ada sisa 1 sachet kopi banci. Selain kopi gw sempat mencoba untuk merutinkan kebiasaan minum teh hijau tanpa gula tiap pagi yang konon katanya kaya anti oksidan, tapi pagi ini stok teh hijau sedang abis.
Entah betul atau tidak, tapi sepertinya ini adalah sugesti, mengkonsumsi minuman berasa (walaupun pahit) baik itu teh atau kopi panas di awal pagi seperti "membukakan mata" gw, bisa jadi ini adalah efek kafein yang dikandung kedua jenis minuman tersebut. Namun membicarakan kafein dan hal-hal ilmiah di pagi hari terasa kurang asik, maka gw lebih menekankan pada soal sugesti. Terkadang gw minum kopi pahit juga di pagi hari, tergantung tubuh ini lagi ingin yang mana dan seperti apa. Logika pun seperti dibuat meningkat olehnya, namun gw sadar bahwa sugesti ini tidak boleh "diberi makan" terus menerus, sehingga dengan sengaja gw melubangi jadwal minum pagi yang ternyata mood gw juga tidak down jika ritual ini gw lewatkan. Tapi ritual bangun pagi mendahului matahari tetap harus dipertahankan, gw bangun pukul 04.44 tiap pagi (seenggaknya itu yang tercantum di waker), ritual 04.44 ini udah bertahan selama 10 tahun. Pertama kali dulu gw inget, pengesetan waktu ini gw lakukan dalam rangka persiapan sidang ujian diploma III, karena space waktu yang disediakan (sampai benar-benar beraktifitas) cukup ideal dan angkanya juga bagus maka sampe sekarang gw memilih setting waktu tersebut sebagai penanda kapan gw bangun.
Pagi ini gw ditemani background musik yang kebetulan nemu di youtube yang nada-nadanya mengingatkan gw akan musik-musik yang biasa disetel di lounge-longue ataupun cafe di kawasan wisata pantai (selain reggae pastinya), ini dia link nya





alunan musiknya membuai diri ini seakan berada di gili trawangan. Oke, kita akan memulai hari mulai sekarang. Kembali menceburkan diri ke dalam rencana skripsi, dan kembali menghabiskan segelas kopi yang mulai mendingin.


Rabu, 17 Oktober 2012

Ular Naga Panjang itu bernama Kemacetan

Jikalau sudah waktunya saya untuk kembali ke Bintaro di ujung barat jakarta dari ujung timur jakarta, maka pastilah itu pada sebuah pagi hari yang buta. 

Hal itu karena saya berpindah dari suatu daerah sub urban menuju daerah sub urban lainnya di sisi yang berseberangan.Maka sepanjang perjalanan sebuah pemandangan unik saya dapatkan, bukan suatu hal yang baru tentunya, namun tak pernah berhenti membuat saya kagum sekaligus prihatin di sisi lainnya.

Sebelumnya saya selalu menganggap perjalanan ini terbagi dalam 2 bagian dengan Jalan Sudirman sebagai garis pemisahnya. Pada bagian pertama, perjalanan saya akan ditemani oleh para sejawat pengguna jalan yang ingin menjadi early birds catch the road, sama seperti saya yang sangat enggan jika ada sedikit saja waktu dalam hidup ini yang terbuang sia-sia hanya karena terjebak kemacetan. Jalan yang saya tempuh adalah ruas jalan kolonel sugiono, jalan casablanca, dan masuk jalan prof.Dr.Satrio sebelum tiba di Jl.Jend.Sudirman. Jika saya bisa memulai perjalanan dibawah pukul 5 pagi, maka jalanan yang relatif lowong untuk ukuran jakarta menjadi hadiahnya, yang akan membuat hati legowo dalam perjalanan paruh pertama, namun jika setelahnya maka jalanan akan mulai padat merayap karenanya walaupun belum dapat dikatakan macet. 

Hal yang saya tangkap sebelum memotong jalur jend. sudirman adalah hiruk pikuk penduduk kota jakarta yang telah meningkat jauh baik dari segi volume maupun dari segi tensi persaingan memperebutkan meter demi meter ruas jalan yang ada,  jika dibandingkan dengan waktu sebelum saya pernah meninggalkan kota ini untuk beberapa waktu. Ditambah lagi dengan adanya pembangunan flyover di jalan casablanca yang membuat jika kita memulai perjalanan pada pukul 6 pagi keatas, maka dipastikan akan terjebak kemacetan yang tidak mengenakkan rasanya pada ruas jalan tersebut, Untuk persaingan seperti yang saya dapatkan pada pukul 5 pagi ini, saya sudah menganggapnya sebagai tensi rendah karena apa yang saya lihat di paruh kedua perjalanan adalah sebuah fenomena bagaimana manusia termobilisasi oleh sebuah atau lebih alasan (walaupun mayoritas sepertinya sama) menuju satu arah tujuan pada tiap pagi dan sore harinya.

Selanjutnya adalah paruh kedua perjalanan, selepas melewati jl. jend. Sudirman dengan sebuah jalan layang, saya berbelok di kuburan karet bivak untuk kemudian masuk palmerah dan berlanjut ke Jalan Veteran. Pada sesi ini saya bukanlah menjadi bagian dari gelombang manusia yang berjalan satu arah tersebut, namun menjadi penonton karena saya melaju berlawanan arah dengan para pekerja yang berasal dari daerah barat jakarta menuju pusat jakarta, alhasil pemandangan yang saya lihat pun adalah sebuah ular panjang barisan kendaraan bermotor yang tak berhenti bahkan saat saya sampai di bintaro. Sebuah pemandangan yang selalu membuat saya mengurut dada dan bersyukur bahwa sampai saat ini saya bukanlah bagian dari antrian kendaraan bermotor yang mengular seperti itu. wajarlah jika penduduk jakarta yang modern ini sebetulnya hanya menginginkan satu permintaan sederhana kepada sang gubernur terpilih, yaitu atasi kemacetan, selain banjir. 

Untuk saya pribadi, saya pun yang dalam 2 tahun terakhir ini hampir tiap minggu menyaksikan pemandangan seperti ini hanya menginginkan sebuah kualitas hidup yang tidak harus menjadi ular panjang berpolusi timbal yang rutin tiap pagi terjadi di hampir tiap sudut kota jakarta. Pertanyaan yang sering muncul di benak saya adalah, tidakkah keinginan saya juga pernah tersirat di benak para manusia-manusia lain di jakarta? mengapa mereka masih menginginkan untuk tinggal di kota yang menawarkan kualitas hidup yang buruk ini. Atau mungkin ketiadaan pilihan yang membuat mereka harus menjalani hidup layaknya mengikuti arus sungai yang tak pernah kering walau musim berganti.

Saat saya menyelesaikan tulisan ini, saya pun menyadari bahwa saat ini pun sang ular sudah mulai menggeliat dan memanjang siap untuk menerkam jakarta.

Minggu, 14 Oktober 2012

Main-main di Malimbu Part.2 (besoknya)


Boyyy.. cerita kali ini adalah lanjutan dari cerita tentang bermain-main di pantai malimbu tempo hari, karena memang kejadiannya adalah pada keesokan harinya (4 Oktober 2012). 

Ceritanya begini, terpana oleh rasa senang yang tak hilang dari pengalaman bermain air di malimbu, keesokan harinya gw n mr.gondes kembali datang ke pantai malimbu (intinya sih karena masih blum puas), kami menuju ke rumah nelayan kenalan kami, dan kali ini bukan cuma untuk numpang parkir dan minjem masker saja, melainkan juga untuk meminjam perahu kecil miliknya. Ya, kali ini kami berkecipak-kecipuk dengan air tidak menggunakan papan surfing seperti kemarin, namun dengan sebuah perahu kecil, yang hanya muat untuk 2-3 orang. Karena hari sudah menjelang siang, maka tanpa membuang banyak waktu selepas meminta izin, kamipun bergegas menuju pantai dan melepas tambatan tali pada perahu dan mengayuh si perahu.

Ini adalah pengalaman pertama ane melihat Pantai Malimbu dari sisi tengah laut, demikian juga tebing-tebingnya yang ternyata memiliki wajah yang berbeda dibandingkan dengan yang biasa dilihat dari jalan raya. Jika lama kami bermain perahu pada pagi menjelang siang itu dibagi dalam 3 tahap waktu, maka 1/3 pertama kami habiskan dengan mencoba menyusuri sisi kiri (selatan) pantai, maunya sih mengikuti usul si Mr.Gondes dengan mengunjungi pantai di balik sisi tebing kiri Malimbu yang selama ini memang tidak kasat mata karena tertutup oleh suatu bentuk bentang alam, tapi ternyata rencana itu adalah rencana gondesss!!! 

karena memang tembok ombak yang panjang membentang di sisi pantai yang kami tuju, jadi memaksakan diri sama saja menghancurkan perahu mungil ini.


Akhirnya rencana pun dialihkan menuju sisi utara, namun ternyata arus yang kuat membuat laju perahu tidak secepat sesuai dengan tenaga yang kami kayuh, lelah mengayuh dayung, maka kami berdua turun dari perahu dan memutuskan untuk mendorongnya, ide gondes macam apa lagi ini?? tapi biar begitu entah kenapa perahu dapat melaju lebih kencang dibandingkan dengan mengayuh dayung. Mungkin karena berat badan kami yang menyulitkan si perahu kecil untuk bergerak.



Ngos-ngosan sampai ujung sisi utara pantai, kami mendapati dan melihat batu bolong Malimbu yang selama ini jadi landmark itu dari jarak dekat, dan mengamati kehidupan bawah air disekitar situ. Sedang mr. gondes ternyata punya agenda lain ketika dia melihat cerukan besar dengan cicitan burung-burung yang santer terdengar dari dalamnya. Dia mencoba menduga bahwa ada walet didalam cerukan itu, sehingga dia memutuskan untuk berenang ke pinggir sementara gw bertugas menjaga perahu yang terus dibawa arus dan gelombang yang mengarahkan untuk menghantam batu karang yang menjulang disepanjang sisi utara pantai. 







Setelah beberapa saat mr. Gondes puas mendapati bahwa dalam cerukan itu tidak ada sosok walet yang dicari, dia pun kembali ketengah dan bersnorkeling. Namun keseluruhan waktu yang kami habiskan lebih banyak untuk mengarahkan perahu kecil untuk tidak hanyut terbawa arus kepinggir. 








Dan perahu kecil ini ternyata bocor.. akhirnya kami menggunakan masker yang kami pakai untuk mengeluarkan air yang menggenangi perahu. Sambil membawa perahu menuju tepi pantai berpasir dan kembali ke parkiran awal, kamipun mendapatkan oleh-oleh rasa lelah ditangan, beberapa foto, dan kulit punggung yang terasa ngilu terpanggang matahari. 







Gak banyak foto-foto yang gw ambil dari perjalanan kali ini, cuma antusiasme naik si perahu kecil yang terkadang dengan mudahnya terombang-ambing gelombang yang meninggalkan kesan buat gw.


Selasa, 09 Oktober 2012

Kembali Bermain di Malimbu


Pada 3 oktober lalu, gw n sohib gw si Mr. GOndes, makhluk yang gw nobatkan sebagai makhluk paling santai sedunia mengalahkan kus-kus dan koala, menghabiskan pagi sampai siang di pantai Malimbu Lombok, agenda kami adalah bersnorkeling, sambil mengambil foto-foto bawah air, sukur-sukur bisa nemu mutiara atau harta karun.  

Mr.GOndes -manusia paling santai sedunia versi gw-
Dalam penyemplungan kali ini kami berdua dilengkapi oleh sebuah papan selancar, bukan untuk ber-surfing-ria namun hanya sebagai bouyant object atau pegangan kalau lagi capek atau sekedar males-malesan. Agak aneh memang, karena ini juga kali pertama gw make cara ini untuk bersnorkeling. Kami mencelupkan diri ke air asin sekitar pukul 9.30 pagi, agak ngaret sih karena si Mr.Gondes seperti biasa ritual paginya sangat memakan waktu.

jalan kaki menuju pantai

Starting point adalah rumah salah seorang kawan nelayan setempat untuk memarkir motor dan meminjam sebuah masker, jadi total peralatan tempur yang dibawa adalah :
2 Masker, 1 Snorkle, sepasang Fins, 1 surfboard, 1 kamera bawah air.
1 Masker dan snorkle dipakai mr.GOndes dan gw memakai 1 masker n fins sebagai kompensasinya, konsekuensinya? gw jadi harus megap-megap atas bawah permukaan air karena ga pake snorkle. Namun sebelumnya, gw n mr.gondes harus berjalan kaki dulu menuju pantai yang ternyata agak jauh juga n panas pula sebelum menyentuh bibir pantai Malimbu, segera setelah mencapai pantai jadilah kami berenang-renang di pantai yang kalo weekend ramai ini, Hari itu cuma ada kami berdua dan beberapa pemancing di batu karang sisi selatan pantai yang berbentuk seperti setengah lingkaran menjorok ke darat ini. 



Oke, selanjutnya kami bergerak ke sisi selatan terlebih dahulu menyisiri karang yang sesuai pengalaman yang sudah-sudah sisi selatan Malimbu memang oke bawah airnya. (silakan baca juga : cerita gw waktu pertama kali snorkeling di Malimbu ) Saat itu kondisi perairan sedang sehabis surut, sehingga jarak antara badan dengan obyek bawah air tidak lah terlalu jauh, namun rupanya kenaikan ketinggian air lumayan cepat juga, setelah menjauh ke sisi tengah barulah pemandangan bawah air mulai blurry karena kedalaman dan ketinggian air yang semakin meningkat.






Hari itu matahari bersinar cerah memanggang punggung gw yang berakibat kulit-kulit punggung pun terkelupas ganti kulit bahkan saat gw ngetik tulisan ini sekarang :) Biasanya banyak ikan di pinggir-pinggir pantai, tapi entahlah hari itu para ikan seperti malu untuk menampakkan diri sehingga yang ada hanyalah karang dan anemon berwarna warni yang menyapa kami, ternyata eh ternyata para ikan itu pagi itu sedang entah pada arisan, simposium, atau konser di perairan agak dalam. Dari yang krucil-krucil sampai yang bangkong mereka agak senang di laut dalam. Mungkin juga mencari air yg lebih dingin, atau untuk menghindari para "penculik" yang sering mendatanginya dan membawa serta para kerabat tercinta ke suatu tempat dan tak pernah kembali lagi. Dan sialnya mereka mengira kami berdua adalah salah dua dari para penculik itu.


Dimanakah para ikan itu berada??



Matahari meninggi, dan kamipun menepi memutuskan untuk pindah spot ke sisi utara pantai yang kami berdua belum pernah eksplorasi sebelumnya, berhubung males lewat air, jadilah kami berjalan kaki menyusuri pantai ke sisi utara yang ternyata lebih ramai dan dijadikan tempat pacaran oleh sepasang muda-mudi yang terlihat risih oleh kedatangan dua oom-oom kurus bawa papan surfing dan snorkle di pantai yang ga pernah ada yang surfing disana. Langsung saja kami menceburkan diri tanpa banyak cing-cong yang berakibat dua sejoli itu naik ke permukaan (tadinya mereka setengah badan basah berduaan di pinggir pantai), dipikir-pikir semengganggu itukah kehadiran Mr.Gondes untuk mereka?? kalo gw sendiri yakin sosok gw ga mengganggu kehadiran mereka.


Mr. Gondes







Di eksplorasi sesi kedua ini, angin sudah bertiup sedemikian kencang, sehingga ombak dan arus pun kacau. Agak terombang-ambing, terutama mr.Gondes karena beliau berpegangan pada surfboard sebagai konsekuensi dari tidak memakai fins di kakinya (mungkin dia ingin menjadi seperti William Trudbridge), namun ketika agak ketengah situasi menjadi lebih terkendali. Gw menemukan seekor ular laut berukuran besar dan panjang sedang hangover di sela-sela batu, kayaknya karena pesta semalam. Selanjutnya tidak ada yang terlalu istimewa kecuali beberapa foto bawah air yang ironisnya justru tentang Mr.Gondes yang lumayan terlihat dramatis hasilnya.

Ular Laut
                                       

Menjelang pukul 12, kegiatan bersnorkeling pun diakhiri gantian sama bule yang mau spearfishing (hmm.. pingin beli alat ini), sepertinya mau peacocking ke betina nya yang yang ikut snorkeling juga, "ini lho dek, kang mas mu bisa mendapatkan ikan hasil berburu".. hehe.. setelah cekikikan sama mr.Gondes beberapa saat, kami pun bergegas kembali ke kehidupan bawah sadar :)