Senin, 31 Desember 2012

Perjalanan Panjang Akhir Tahun


Mungkin sebagian dari kalian lebih suka menghabiskan sebagian waktu kalian berada di suatu tempat dimana banyak orang berada disekelilingnya. Ada juga yang memilih untuk menyendiri dalam suatu kesunyian. Apapun pilihannya, dunia menyediakan tempat bagi kedua pilihan tersebut. Termasuk untuk pilihan kedua. Dalam sebuah jalur perjalanan Dampit menuju Lumajang via Piket-Nol ba'da maghrib, hiruk pikuk dunia seperti telah ditarik dari peredarannya. Mungkin turunnya hujan sedari siang hingga beberapa kali saat ku beperjalanan, yang membuatku beberapa kali menepi untuk sekedar berteduh dan menikmati suasana, turut menyumbang sebagian besar porsi kesunyian dunia.

Hanya suara serangga malam dan hujan yang mendominasi indera pendengaranku, dengan sesekali bunyi kendaraan berlalu didepanku menghadirkan sebuah kegaduhan dalam tempo sekejap untuk kemudian terserap kembali dengan cepat kedalam gelapnya kesunyian malam. Udara dingin mulai mencoba untuk mendominasi suhu tubuhku. Jalur ini pernah kutempuh 2 tahun sebelumnya dalam perjalanan Lombok menuju Jakarta, sehingga di beberapa titik tempat, seperti menceritakan sebuah kisah keintiman yang pernah timbul antara aku dengan tempat-tempat sunyi ini.

Hujan turun selalu hanya dalam waktu yang tidak lama, untuk mengizinkanku kembali beperjalanan untuk kemudian menyuruhkan kembali menepi dan kemudian hilang kembali. Demikianlah siklus hujan malam itu menemani perjalananku. Di tengah absennya hujan, bulan waxing gibbous - setengah lingkaran memberikan sinarnya ketika mengintip dari balik tabir awan memberikan siluet cerah kepada Gunung Semeru disisi utara. Begitu tenang sang Mahameru saat itu, sangat jauh berbeda ketika kulihat dari kotak televisi ketika memberitakan murka sang gunung. Jalanan berliku di gelap malam, sesekali diterangi oleh cahaya truk dan mobil yang berjalan berlawanan arah. Kota-kota kecamatan kecil juga memberi cahaya ketika aku melewatinya, setelah itu kembali gelap, kembali sunyi, dan kembali dingin. Warung kecil di pinggir jalan juga memberikan setitik terang bagi malam ditengah rimba Piket Nol.

Setiba di kota Lumajang, situasi ternyata berubah total. Kota yang masih dalam suasana pesta perayaan hari jadinya tanggal 15 Desember kemarin. Harjalu (Hari Jadi Lumajang), masih terlihat dirayakan oleh para penduduknya, 3 buah mobil dengan speaker besar yang tak henti-hentinya menghadirkan kebisingan musik-musik dari dangdut sampai PSY-gangnam style kepada telinga para penduduk yang sedang menikmati malam di sepanjang jalan. Aku sendiri bergegas langsung melewatinya menuju kesuatu tempat dimana kesunyian lain akan memelukku.

Beberapa tempat memang masih (sangat) sepi

Snorkeling di penghujung tahun


Beberapa orang yang peduli dengan penanggalan Masehi akan menganggap hari ini adalah hari terakhir tahun 2012, buat saya hari ini sama saja dengan hari-hari sebelumnya (ga tau jika dengan hari esok). Tapi ga ada salahnya juga untuk menganggap hari ini sebagai hari terakhir di tahun 2012 untuk memberi bumbu pada hari agar terasa sedikit gurih.

Agak siang sekitar pukul 10.30 ketika saya memulainya, awalnya air masih cukup jernih (walau tidak terlalu jernih juga) dan menjadi sangat keruh di paruh akhir, kondisi arus air cukup kuat. 

Tidak ada spesies ikan yang cukup menarik dalam sesi snorkeling kali ini, Mungkin keterbatasan jarak pandang mempengaruhi penampakan para ikan tersebut. Sebuah pufferfish (Family Tetraodontidiae) berwarna abu-abu kekuningan sempat terlihat disebuah karang datar (table coral / Acropora) Namun si Puffer ini adalah jenis hewan pemalu, ketika didekati diapun segera menjauh, jikalau saat itu kondisi air lebih jernih mungkin gambar akan bisa didapat namun dengan cepat si Puffer lucu itu segera menghilang dibalik keruhnya air. 

Pembelajaran teknik freediving memberikan banyak manfaat dalam snorkeling kali ini, selain dari durasi waktu submerge yang lebih lama, gerakan dibawah air pun menjadi lebih lugas sehingga pengambilan gambar bawah air dapat menjadi lebih leluasa. Jika ada satu hal yang menghambat, hal itu adalah arus bawah yang lumayan kuat sehingga sempat membuat oleng ketika akan mengambil gambar.

Karang Meja dengan Bioluminescene di pinggirnya
Ketika sampai disuatu tempat dimana terdapat banyak anemon subur didalamnya, kondisi kejernihan air sudah sedemikian buruknya, sehingga gambarpun hanya dapat diperoleh seadanya. Terakhir seekor Morray Eel kecil secara tidak sengaja saya temukan, seperti biasa dia menyembulkan kepalanya seperti garang, namun sebetulnya mereka adalah hewan pemalu yang jika kita dekati lebih lagi mereka akan memilih untuk bersembunyi. Sifatnya sangat berbeda jauh dengan tongkrongannya.

Beberapa foto berhasil diambil walaupun banyak yang hasilnya kurang baik, berikut adalah beberapa yang terpilih. :)

Hutan Kecil Anemon (sayangnya housing underwater sudah mulai fogging)




Minggu, 30 Desember 2012

Yuhuu jadi ini akhir 2012..


Senin pagi hari terakhir tahun 2012, berartikah? entahlah kalau gw sendiri merasa pagi ini bangun lebih pagi dengan rasa pusing dan tidak nyaman yang sama. Pertanda ketidakseimbangan aliran energi? mungkin saja. Manusia hanya sedikit saja mengenal jagad raya, bahkan jagad raya dalam dirinya :0

Di Mataram pagi ini cerah mungkin secerah para penduduknya yang dari kemarin terlihat antusias menyambut tahun baru 2013. Bagi sebagian orang tahun baru kali ini mungkin lebih terasa istimewa karena baru saja terlepas dari ancaman kiamat. Tapi sekali lagi itu bagi sebagian orang lho ya. Percaya atau tidak yang pasti awam selalu berjumlah mayoritas. Awam yang dengan congkaknya berseloroh akan keyakinan fanatiknya, awam yang bersikap skeptis, atau awam yang bersikap masa bodoh. Tidak ada yang salah, karena bisa saja pada tanggal prediksi terjadinya kiamat tersebut memang ada sekelompok kecil manusia yang dengan aksi kepahlawanannya berhasil menyelamatkan bumi dari kehancuran, entah itu dari ancaman meteorit, berhentinya rotasi bumi, ledakan matahari, atau ledakan semesta, entah aksi tersebut dilakukan dengan cara apa kita tidak pernah tahu karena memang tidak ada publikasinya. 

Dalam era sekarang ini publikasi memang sedemikian membutakannya penilaian berjuta manusia. 

Apapun itu, omongn tanpa arah akhir tahun ini menggambarkan pula tahun tanpa arah yang akan segera berakhir (setidaknya berdasarkan kalender masehi).

Selamat tahun Baru

Selasa, 30 Oktober 2012

Menua, Mendewasa, namun Tetap Berjiwa Muda??


Berikut adalah tulisan saya yang berisikan unek-unek saya tentang berlebihannya orang Indonesia (ga semuanya sih) memandang penambahan usia, ya harus gini lah, ya harus gitu lah, entah dari mana mereka mendapatkan pakem seperti itu dan tanpa berpikir lebih dalam langsung menganggapnya sebagai suatu kebenaran. Dan kapan pakem itu muncul? entahlah.

Tulisan ini juga tidak akan saya promosikan di facebook atau twitter, karena memang bukan ditujukan untuk banyak orang yang ga mempunyai cukup nasib untuk membacanya, tapi juga ga akan saya simpen buat diri saya sendiri juga di dalam buku diary. Jadi adalah nasib mujur jika anda kebetulan terdampar di blog ini, trus pas baca postingan ini dan menganggapnya sebagai sebuah masukan berharga dalam hidup anda. Boleh juga anda menganggapnya sebagai suatu kesialan, ketika membaca sebuah ide yang sangat tidak sesuai dengan cara pandang anda atau tidak dapat sedikitpun masuk kedalam pakem yang sudah sangat tertanam dalam diri anda, mungkin buang-buang waktu untuk anda untuk membacanya. Jadi semua kembali kepada anda dan nasib anda.

Menjadi tua, menjadi dewasa, menjadi berjiwa muda. Saya mempunyai cara pandang sendiri(tapi tidak berani mengatakan berbeda karena sangat mungkin ada manusia lain di dunia ini yang memiliki cara pandang sama) dalam memandang ketiga poin tersebut. Ketika banyak orang berkata, tua itu pasti dan dewasa itu pilihan. Maka saya akan berkata (dengan lantang) bahwa Tua itu pasti, dan menjadi dewasa adalah HARUS! berjiwa muda adalah pilihan. 

Landasan berpikirnya adalah, jika kedewasaan adalah sebuah pilihan maka menjadi tidak dewasa adalah sesuatu yang wajar? menurut saya (pribadi) sih tidak. Kedewasaan adalah sebuah proses yang diperoleh dengan berjalannya waktu, sangat sulit untuk menjadi dewasa tanpa menjadi tua. Walaupun ada orang yang berusia lebih muda mampu bersikap lebih dewasa dibandingkan dengan orang lain yang lebih senior darinya. Namun, kedewasaan memang tidak dapat dipaksakan, namun bisa diusahakan. Melihat orang berusia banyak yang tidak dewasa dalam memandang suatu masalah hanya akan menimbulkan kemuakan bagi yang melihatnya, termasuk saya. Saya sendiri selalu menganggap diri masih berproses menuju kedewasaan, namun saya tidak akan mentolerir jika diri saya tidak pernah menjadi dewasa. Menjadikan kedewasaan sebagai suatu pilihan adalah sesuatu yang salah kaprah karena hal ini berarti kita mentolerir adanya ketidakdewasaan di masyarakat sana. Namun yang namanya keharusan tentu masih ada saja pihak yang tidak melaksanakannya, berbeda dengan menjadi tua yang merupakan suatu keniscayaan, dewasa sebagai suatu keharusan seharusnya memang lebih mengikat dibandingkan hanya dengan menjadi pilihan.

Lalu bagaimana dengan pola masyarakat kita dalam memandang kedewasaan? beberapa orang yang menurut saya salah kaprah lagi-lagi memaksakan pandangannya bahwa menjadi dewasa adalah menjadi kurang beraktifitas fisik, mengurangi ide-ide liar, menjadi lebih pendiam, dan pada akhirnya menasehati "sudahlah, inget umur, udah harus dewasa, ga usah surfing lagi.. " 

Sungguh menggelikan mendengarnya. Ketika kedewasaan diartikan juga dengan jiwa yang menua, yang berarti menjadi dewasa dengan berjiwa muda itu sangat bertolak belakang. Menjadi dewasa berarti meninggalkan naik gunung, surfing, freediving dan menggantinya dengan bulutangkis, tenis, dan sebagainya. Saya suka seluruh olahraga, namun menurut saya, tenis masih bisa saya lakukan saat saya berusia 50 tahun ke atas nanti. Kita tidak bisa melawan umur, karenanya 30 tahun bahkan 40 tahun usia yang terlalu muda untuk beralih ke olahraga minim adrenaline. Tentunya pandangan saya tidak harus berlaku kepada semua orang, hanya ditujukan bagi para penganut paham kedewasaan = penuaan jiwa.

Hal ini tentu saja akan berpengaruh ketika (kalau mau) memiliki keturunan kelak, tahu kenapa para anak terkadang lebih dekat kepada teman-teman sebayanya dibanding orang tuanya? Karena orang tua mereka sudah berjiwa tua! frekuensinya jauh berbeda dari anaknya. Dan berani taruhan bahwa mayoritas masyarakat memandangnya sebagai suatu kewajaran. Menurut saya? Nggak! Minoritas hubungan orang tua-anak yang saya lihat asik adalah ketika orang tua nya mampu mendewasa dengan baik tanpa kehilangan jiwa mudanya. Hal ini yang membuat para anaknya betah untuk berada didekat orang tuanya, karena frekuensi pergaulan bapak-ibunya meluas seiring pertambahan usia bukan malah bergeser.

Memang yang gampang adalah membiarkan diri kita untuk menua dan menyerah pada hormon sambil menunggu mati, namun setiap kemudahan akan ada konsekuensinya. Apa yang kita tanam hari ini adalah buah di keesokan hari. Jika suatu hari nanti kita semua merasa sudah bahagia dan merasa congkak akannya, coba lihat kehidupan kita dalam lingkup yang lebih luas maka dijamin akan kita temukan banyak kekurangan yang ada dalam kehidupan kita. Apa yang akan kita keluhkan dikemudian hari adalah buah dari kehidupan dan pilihan yang kita buat hari ini. Silahkan menjadi tua, jiwa dan raga anda. Silahkan anda mendewasa dengan cara anda sendiri. Namun harus anda ketahui bahwa banyak cara untuk mendewasa tidak melulu hanya berdasarkan pakem yang berlaku di masyarakat banal ini. 

Lalu salahkah jika seorang manusia menua, dan mendewasa, namun tidak berjiwa muda?? Tidak. tidak salah dengan hal itu, karena ukuran benar salah hanya ada pada unsur pertama dan kedua. Menjadi tidak tua? berarti ada yang salah dengan struktur biologisnya, cacat! Menjadi tidak dewasa? ini salah total, selamanya bersikap layaknya anak-anak. orang seperti ini ga layak punya keturunan. Berjiwa muda? hal ini hanya akan mempengaruhi kadar "keasyikan" hidup anda dan bagaimana orang-orang disekeliling anda memandang anda. Tidak berjiwa muda it's oke.. silakan, tapi menurut saya hal itu tidak asik karena sangat biasa, dan mungkin anak cucu kita akan bosan sama kakek neneknya. Namun orang tua yang berjiwa muda adalah makhluk langka yang keberadaannya akan selalu dicari dan dinantikan.

Mendewasalah dan perluas khasanah kehidupan anda, jangan tinggalkan hobi masa muda anda hanya karena alasan menjadi dewasa, karena hal itu akan sangat berguna bagi pergaulan anda dengan anak anda kelak. Dan satu lagi, jangan biarkan gunung-gunung di Indonesia hanya dijelajahi oleh manula-manula bule asing, pertanyaan yang timbul adalah kemana para manula-manula pribumi berada??? duduk di teras sambil minum teh dan gorengan sambil dengan congkak dan bangganya bercerita pada anak cucunya, "dulu saya pernah mendaki" , "tahun segini saya bisa finis ikut lomba...", percayalah akan lebih menarik dan memberi teladan bagi cucu kita kelak jika mereka mendengar "minggu lalu kakek baru ikut lomba olympic triathlon dan finish di urutan 123" atau "besok nenek mau naik gunung rinjani 4 hari, mau ikut??" terdengar jauh lebih bagus kan. satu lagi, berjiwa muda ga harus memakai ukuran aktifitas fisik kok, cuma disini saya kebetulan menggunakan variabel kegiatan fisik aja sebagai salah satu contohnya. Definisikan jiwa muda menurut diri kita masing-masing, dan pertahankan hal itu. 

Tua itu Pasti
Dewasa itu Harus
Berjiwa Muda itu Pilihan

PS. Saya pun masih berjuang untuk mewujudkannya.

Senin, 22 Oktober 2012

Secangkir kopi pagi ini

kupi gw tinggal sedikiit..

Terbangun pukul 03.30 dengan kondisi badan yang sedang kurang sehat ditambah beban pikiran untuk menyelesaikan konsep skripsi sesuai dengan keinginan dosen pembimbing. Tapi sejenak gw singkirkan dulu topik skripsi dari tulisan kali ini karena dia telah menyita waktu gw untuk membaca berbagai esai dan jurnal yang membuat pagi gw dengan cepat menjenuh dari sebuah keadaan pagi yang ideal. Oke, kembali soal kopi. Pagi ini gw minum Top Kopi yang kata bang Iwan Fals adalah kopinya Orang Indonesia, ga tau orang indonesia disini semua WNI termasuk gw atau OI - fanbase nya dia, yang gw seduh adalah kopi hitam plus gula sachetan. Sebetulnya bukan kebiasaan rutin gw buat mengkonsumsi kopi di pagi hari, tapi berhubung gw lagi kurang sehat maka banyak orang ahli mengatakan "dengarkan tubuhmu sendiri", maka karena pagi ini rasanya fokus gw kok kurang tajam maka gw putuskan (setelah bersepakat dengan tubuh) untuk minum kopi panas. Keterbatasan pilihan cepat membuat gw memilih kopi hitam, sempat tergoda untuk mencoba "kopi banci" yang biasa dikonsumsi para kaum urban di pagi hari. Buat yang belum tau, kopi banci adalah istilah yang gw dapet dari buku filsafat kopi nya dewi lestari yang merupakan komposisi dari 1 (sendok teh) kopi instan, 2 gula pasir, 3 non-dairy cream. Namun dalam perkembangan selanjutnya gw menyebut semua kopi instan sachetan yang dipersenjatai dengan cream sebagai "kopi banci", dan gw lumayan rutin juga mengkonsumsinya. Namun pagi ini pilihan jatuh pada "kopi jantan" walaupun tadi ada sisa 1 sachet kopi banci. Selain kopi gw sempat mencoba untuk merutinkan kebiasaan minum teh hijau tanpa gula tiap pagi yang konon katanya kaya anti oksidan, tapi pagi ini stok teh hijau sedang abis.
Entah betul atau tidak, tapi sepertinya ini adalah sugesti, mengkonsumsi minuman berasa (walaupun pahit) baik itu teh atau kopi panas di awal pagi seperti "membukakan mata" gw, bisa jadi ini adalah efek kafein yang dikandung kedua jenis minuman tersebut. Namun membicarakan kafein dan hal-hal ilmiah di pagi hari terasa kurang asik, maka gw lebih menekankan pada soal sugesti. Terkadang gw minum kopi pahit juga di pagi hari, tergantung tubuh ini lagi ingin yang mana dan seperti apa. Logika pun seperti dibuat meningkat olehnya, namun gw sadar bahwa sugesti ini tidak boleh "diberi makan" terus menerus, sehingga dengan sengaja gw melubangi jadwal minum pagi yang ternyata mood gw juga tidak down jika ritual ini gw lewatkan. Tapi ritual bangun pagi mendahului matahari tetap harus dipertahankan, gw bangun pukul 04.44 tiap pagi (seenggaknya itu yang tercantum di waker), ritual 04.44 ini udah bertahan selama 10 tahun. Pertama kali dulu gw inget, pengesetan waktu ini gw lakukan dalam rangka persiapan sidang ujian diploma III, karena space waktu yang disediakan (sampai benar-benar beraktifitas) cukup ideal dan angkanya juga bagus maka sampe sekarang gw memilih setting waktu tersebut sebagai penanda kapan gw bangun.
Pagi ini gw ditemani background musik yang kebetulan nemu di youtube yang nada-nadanya mengingatkan gw akan musik-musik yang biasa disetel di lounge-longue ataupun cafe di kawasan wisata pantai (selain reggae pastinya), ini dia link nya





alunan musiknya membuai diri ini seakan berada di gili trawangan. Oke, kita akan memulai hari mulai sekarang. Kembali menceburkan diri ke dalam rencana skripsi, dan kembali menghabiskan segelas kopi yang mulai mendingin.


Rabu, 17 Oktober 2012

Ular Naga Panjang itu bernama Kemacetan

Jikalau sudah waktunya saya untuk kembali ke Bintaro di ujung barat jakarta dari ujung timur jakarta, maka pastilah itu pada sebuah pagi hari yang buta. 

Hal itu karena saya berpindah dari suatu daerah sub urban menuju daerah sub urban lainnya di sisi yang berseberangan.Maka sepanjang perjalanan sebuah pemandangan unik saya dapatkan, bukan suatu hal yang baru tentunya, namun tak pernah berhenti membuat saya kagum sekaligus prihatin di sisi lainnya.

Sebelumnya saya selalu menganggap perjalanan ini terbagi dalam 2 bagian dengan Jalan Sudirman sebagai garis pemisahnya. Pada bagian pertama, perjalanan saya akan ditemani oleh para sejawat pengguna jalan yang ingin menjadi early birds catch the road, sama seperti saya yang sangat enggan jika ada sedikit saja waktu dalam hidup ini yang terbuang sia-sia hanya karena terjebak kemacetan. Jalan yang saya tempuh adalah ruas jalan kolonel sugiono, jalan casablanca, dan masuk jalan prof.Dr.Satrio sebelum tiba di Jl.Jend.Sudirman. Jika saya bisa memulai perjalanan dibawah pukul 5 pagi, maka jalanan yang relatif lowong untuk ukuran jakarta menjadi hadiahnya, yang akan membuat hati legowo dalam perjalanan paruh pertama, namun jika setelahnya maka jalanan akan mulai padat merayap karenanya walaupun belum dapat dikatakan macet. 

Hal yang saya tangkap sebelum memotong jalur jend. sudirman adalah hiruk pikuk penduduk kota jakarta yang telah meningkat jauh baik dari segi volume maupun dari segi tensi persaingan memperebutkan meter demi meter ruas jalan yang ada,  jika dibandingkan dengan waktu sebelum saya pernah meninggalkan kota ini untuk beberapa waktu. Ditambah lagi dengan adanya pembangunan flyover di jalan casablanca yang membuat jika kita memulai perjalanan pada pukul 6 pagi keatas, maka dipastikan akan terjebak kemacetan yang tidak mengenakkan rasanya pada ruas jalan tersebut, Untuk persaingan seperti yang saya dapatkan pada pukul 5 pagi ini, saya sudah menganggapnya sebagai tensi rendah karena apa yang saya lihat di paruh kedua perjalanan adalah sebuah fenomena bagaimana manusia termobilisasi oleh sebuah atau lebih alasan (walaupun mayoritas sepertinya sama) menuju satu arah tujuan pada tiap pagi dan sore harinya.

Selanjutnya adalah paruh kedua perjalanan, selepas melewati jl. jend. Sudirman dengan sebuah jalan layang, saya berbelok di kuburan karet bivak untuk kemudian masuk palmerah dan berlanjut ke Jalan Veteran. Pada sesi ini saya bukanlah menjadi bagian dari gelombang manusia yang berjalan satu arah tersebut, namun menjadi penonton karena saya melaju berlawanan arah dengan para pekerja yang berasal dari daerah barat jakarta menuju pusat jakarta, alhasil pemandangan yang saya lihat pun adalah sebuah ular panjang barisan kendaraan bermotor yang tak berhenti bahkan saat saya sampai di bintaro. Sebuah pemandangan yang selalu membuat saya mengurut dada dan bersyukur bahwa sampai saat ini saya bukanlah bagian dari antrian kendaraan bermotor yang mengular seperti itu. wajarlah jika penduduk jakarta yang modern ini sebetulnya hanya menginginkan satu permintaan sederhana kepada sang gubernur terpilih, yaitu atasi kemacetan, selain banjir. 

Untuk saya pribadi, saya pun yang dalam 2 tahun terakhir ini hampir tiap minggu menyaksikan pemandangan seperti ini hanya menginginkan sebuah kualitas hidup yang tidak harus menjadi ular panjang berpolusi timbal yang rutin tiap pagi terjadi di hampir tiap sudut kota jakarta. Pertanyaan yang sering muncul di benak saya adalah, tidakkah keinginan saya juga pernah tersirat di benak para manusia-manusia lain di jakarta? mengapa mereka masih menginginkan untuk tinggal di kota yang menawarkan kualitas hidup yang buruk ini. Atau mungkin ketiadaan pilihan yang membuat mereka harus menjalani hidup layaknya mengikuti arus sungai yang tak pernah kering walau musim berganti.

Saat saya menyelesaikan tulisan ini, saya pun menyadari bahwa saat ini pun sang ular sudah mulai menggeliat dan memanjang siap untuk menerkam jakarta.

Minggu, 14 Oktober 2012

Main-main di Malimbu Part.2 (besoknya)


Boyyy.. cerita kali ini adalah lanjutan dari cerita tentang bermain-main di pantai malimbu tempo hari, karena memang kejadiannya adalah pada keesokan harinya (4 Oktober 2012). 

Ceritanya begini, terpana oleh rasa senang yang tak hilang dari pengalaman bermain air di malimbu, keesokan harinya gw n mr.gondes kembali datang ke pantai malimbu (intinya sih karena masih blum puas), kami menuju ke rumah nelayan kenalan kami, dan kali ini bukan cuma untuk numpang parkir dan minjem masker saja, melainkan juga untuk meminjam perahu kecil miliknya. Ya, kali ini kami berkecipak-kecipuk dengan air tidak menggunakan papan surfing seperti kemarin, namun dengan sebuah perahu kecil, yang hanya muat untuk 2-3 orang. Karena hari sudah menjelang siang, maka tanpa membuang banyak waktu selepas meminta izin, kamipun bergegas menuju pantai dan melepas tambatan tali pada perahu dan mengayuh si perahu.

Ini adalah pengalaman pertama ane melihat Pantai Malimbu dari sisi tengah laut, demikian juga tebing-tebingnya yang ternyata memiliki wajah yang berbeda dibandingkan dengan yang biasa dilihat dari jalan raya. Jika lama kami bermain perahu pada pagi menjelang siang itu dibagi dalam 3 tahap waktu, maka 1/3 pertama kami habiskan dengan mencoba menyusuri sisi kiri (selatan) pantai, maunya sih mengikuti usul si Mr.Gondes dengan mengunjungi pantai di balik sisi tebing kiri Malimbu yang selama ini memang tidak kasat mata karena tertutup oleh suatu bentuk bentang alam, tapi ternyata rencana itu adalah rencana gondesss!!! 

karena memang tembok ombak yang panjang membentang di sisi pantai yang kami tuju, jadi memaksakan diri sama saja menghancurkan perahu mungil ini.


Akhirnya rencana pun dialihkan menuju sisi utara, namun ternyata arus yang kuat membuat laju perahu tidak secepat sesuai dengan tenaga yang kami kayuh, lelah mengayuh dayung, maka kami berdua turun dari perahu dan memutuskan untuk mendorongnya, ide gondes macam apa lagi ini?? tapi biar begitu entah kenapa perahu dapat melaju lebih kencang dibandingkan dengan mengayuh dayung. Mungkin karena berat badan kami yang menyulitkan si perahu kecil untuk bergerak.



Ngos-ngosan sampai ujung sisi utara pantai, kami mendapati dan melihat batu bolong Malimbu yang selama ini jadi landmark itu dari jarak dekat, dan mengamati kehidupan bawah air disekitar situ. Sedang mr. gondes ternyata punya agenda lain ketika dia melihat cerukan besar dengan cicitan burung-burung yang santer terdengar dari dalamnya. Dia mencoba menduga bahwa ada walet didalam cerukan itu, sehingga dia memutuskan untuk berenang ke pinggir sementara gw bertugas menjaga perahu yang terus dibawa arus dan gelombang yang mengarahkan untuk menghantam batu karang yang menjulang disepanjang sisi utara pantai. 







Setelah beberapa saat mr. Gondes puas mendapati bahwa dalam cerukan itu tidak ada sosok walet yang dicari, dia pun kembali ketengah dan bersnorkeling. Namun keseluruhan waktu yang kami habiskan lebih banyak untuk mengarahkan perahu kecil untuk tidak hanyut terbawa arus kepinggir. 








Dan perahu kecil ini ternyata bocor.. akhirnya kami menggunakan masker yang kami pakai untuk mengeluarkan air yang menggenangi perahu. Sambil membawa perahu menuju tepi pantai berpasir dan kembali ke parkiran awal, kamipun mendapatkan oleh-oleh rasa lelah ditangan, beberapa foto, dan kulit punggung yang terasa ngilu terpanggang matahari. 







Gak banyak foto-foto yang gw ambil dari perjalanan kali ini, cuma antusiasme naik si perahu kecil yang terkadang dengan mudahnya terombang-ambing gelombang yang meninggalkan kesan buat gw.


Selasa, 09 Oktober 2012

Kembali Bermain di Malimbu


Pada 3 oktober lalu, gw n sohib gw si Mr. GOndes, makhluk yang gw nobatkan sebagai makhluk paling santai sedunia mengalahkan kus-kus dan koala, menghabiskan pagi sampai siang di pantai Malimbu Lombok, agenda kami adalah bersnorkeling, sambil mengambil foto-foto bawah air, sukur-sukur bisa nemu mutiara atau harta karun.  

Mr.GOndes -manusia paling santai sedunia versi gw-
Dalam penyemplungan kali ini kami berdua dilengkapi oleh sebuah papan selancar, bukan untuk ber-surfing-ria namun hanya sebagai bouyant object atau pegangan kalau lagi capek atau sekedar males-malesan. Agak aneh memang, karena ini juga kali pertama gw make cara ini untuk bersnorkeling. Kami mencelupkan diri ke air asin sekitar pukul 9.30 pagi, agak ngaret sih karena si Mr.Gondes seperti biasa ritual paginya sangat memakan waktu.

jalan kaki menuju pantai

Starting point adalah rumah salah seorang kawan nelayan setempat untuk memarkir motor dan meminjam sebuah masker, jadi total peralatan tempur yang dibawa adalah :
2 Masker, 1 Snorkle, sepasang Fins, 1 surfboard, 1 kamera bawah air.
1 Masker dan snorkle dipakai mr.GOndes dan gw memakai 1 masker n fins sebagai kompensasinya, konsekuensinya? gw jadi harus megap-megap atas bawah permukaan air karena ga pake snorkle. Namun sebelumnya, gw n mr.gondes harus berjalan kaki dulu menuju pantai yang ternyata agak jauh juga n panas pula sebelum menyentuh bibir pantai Malimbu, segera setelah mencapai pantai jadilah kami berenang-renang di pantai yang kalo weekend ramai ini, Hari itu cuma ada kami berdua dan beberapa pemancing di batu karang sisi selatan pantai yang berbentuk seperti setengah lingkaran menjorok ke darat ini. 



Oke, selanjutnya kami bergerak ke sisi selatan terlebih dahulu menyisiri karang yang sesuai pengalaman yang sudah-sudah sisi selatan Malimbu memang oke bawah airnya. (silakan baca juga : cerita gw waktu pertama kali snorkeling di Malimbu ) Saat itu kondisi perairan sedang sehabis surut, sehingga jarak antara badan dengan obyek bawah air tidak lah terlalu jauh, namun rupanya kenaikan ketinggian air lumayan cepat juga, setelah menjauh ke sisi tengah barulah pemandangan bawah air mulai blurry karena kedalaman dan ketinggian air yang semakin meningkat.






Hari itu matahari bersinar cerah memanggang punggung gw yang berakibat kulit-kulit punggung pun terkelupas ganti kulit bahkan saat gw ngetik tulisan ini sekarang :) Biasanya banyak ikan di pinggir-pinggir pantai, tapi entahlah hari itu para ikan seperti malu untuk menampakkan diri sehingga yang ada hanyalah karang dan anemon berwarna warni yang menyapa kami, ternyata eh ternyata para ikan itu pagi itu sedang entah pada arisan, simposium, atau konser di perairan agak dalam. Dari yang krucil-krucil sampai yang bangkong mereka agak senang di laut dalam. Mungkin juga mencari air yg lebih dingin, atau untuk menghindari para "penculik" yang sering mendatanginya dan membawa serta para kerabat tercinta ke suatu tempat dan tak pernah kembali lagi. Dan sialnya mereka mengira kami berdua adalah salah dua dari para penculik itu.


Dimanakah para ikan itu berada??



Matahari meninggi, dan kamipun menepi memutuskan untuk pindah spot ke sisi utara pantai yang kami berdua belum pernah eksplorasi sebelumnya, berhubung males lewat air, jadilah kami berjalan kaki menyusuri pantai ke sisi utara yang ternyata lebih ramai dan dijadikan tempat pacaran oleh sepasang muda-mudi yang terlihat risih oleh kedatangan dua oom-oom kurus bawa papan surfing dan snorkle di pantai yang ga pernah ada yang surfing disana. Langsung saja kami menceburkan diri tanpa banyak cing-cong yang berakibat dua sejoli itu naik ke permukaan (tadinya mereka setengah badan basah berduaan di pinggir pantai), dipikir-pikir semengganggu itukah kehadiran Mr.Gondes untuk mereka?? kalo gw sendiri yakin sosok gw ga mengganggu kehadiran mereka.


Mr. Gondes







Di eksplorasi sesi kedua ini, angin sudah bertiup sedemikian kencang, sehingga ombak dan arus pun kacau. Agak terombang-ambing, terutama mr.Gondes karena beliau berpegangan pada surfboard sebagai konsekuensi dari tidak memakai fins di kakinya (mungkin dia ingin menjadi seperti William Trudbridge), namun ketika agak ketengah situasi menjadi lebih terkendali. Gw menemukan seekor ular laut berukuran besar dan panjang sedang hangover di sela-sela batu, kayaknya karena pesta semalam. Selanjutnya tidak ada yang terlalu istimewa kecuali beberapa foto bawah air yang ironisnya justru tentang Mr.Gondes yang lumayan terlihat dramatis hasilnya.

Ular Laut
                                       

Menjelang pukul 12, kegiatan bersnorkeling pun diakhiri gantian sama bule yang mau spearfishing (hmm.. pingin beli alat ini), sepertinya mau peacocking ke betina nya yang yang ikut snorkeling juga, "ini lho dek, kang mas mu bisa mendapatkan ikan hasil berburu".. hehe.. setelah cekikikan sama mr.Gondes beberapa saat, kami pun bergegas kembali ke kehidupan bawah sadar :)

Sabtu, 28 Juli 2012

Sore ze Band di telinga saya


Sore memang bagus, tapi IMHO tidak sebagus itu untuk dipuja-puja. Kalimat tadi adalah murni pendapat saya sebagai pendengar musik, pastilah banyak yang akan tidak sependapat dengannya, apalagi mereka yang telah menjadi penggemar militan yang sampai kapanpun tidak akan dapat memberikan pendapat yang obyektif lagi. Tapi ya sudahlah, tidak apa-apa. Tentu pernyataan saya memiliki dasar, dan dasar yang obyektif yang sekali lagi obyektif menurut saya. Sore memiliki aliran yang unik, perpaduan berbagai bunyi yang enak terdengar, jauh melebihi esensi tiap lagunya itu sendiri. Beberapa dari lagu mereka mati-matian saya kulik (gitar) untuk bisa ikut menyanyikannya, karena memang enak, seperti : senyum dari selatan (walaupun bukan ciptaan Sore), Vrijeman (benarkan jika typo) , dan lagu yang sangat memorable untuk saya yaitu mata berdebu. Hal umum dari sore (secara musikalitas) yang membuat mereka tidak mendapat A+ dari saya yang dummy ini adalah terlalu banyaknya bebunyian yang mayoritas mengisi musik-musik sore. Awalnya memang terdengar "wah" ketika kita mendengarkan sebuah lagu yang mana didalamnya terkandung beraneka ragam bebunyian, apalagi dikemas dengan warna dasar agak jazzy, namun makin kesini ketika saya sudah bisa menyanyikan lagu-lagunya diluar kepala, dan ketika mendengarkannya lewat earphone dimana bunyi-bunyi menjadi lebih detail, mayoritas musik-musik Sore menjadi berlebihan. Bertaburannya bunyi-bunyi terasa malah bertubrukan dan terasa tidak perlu di banyak tempat, berlebihan, dan tak jarang bertubrukan. Sekali lagi ini pendapat saya yang lebih menghendaki musik-musik yang tenang menyejukkan seperti milik mbak Enya, atau yang bising sekalian ala Besok Bubar. Namun, untuk sebuah musik berjenis seperti Sore ketika basic nya saja sudah enak penambahan ornamen-ornamen terlalu banyak akan serasa seperti sebuah Ice Cream haagen dazs yang sudah lezat diberikan taburan mesis, kurma, anggur, pepaya, bahkan duren. Bukan itu yang saya mau bang Ade (paloh).

Tiga lagu dari beberapa yang "berlebihan" itu adalah sebagai berikut :

1. Vrijeman
Oke, memang ini adalah salah satu lagu fenomenal, satu dari sedikit lagu-lagu Sore yang memakai format full distortion, namun jika didengar lagi, distorsi tidaklah cukup untuk memberikan kesan bising di lagu ini. Banyak sekali bebunyian gedebam-gedebum di background soundnya, bahkan saya sampai merasa mendengar sebuah petasan (atau mungkin memang demikian?), serta bunyi drum dan cymbal yang bertubi-tubi membuat saya bertanya-tanya kesan apa yang ingin ditimbulkan oleh Sore. Besar kemungkinan memang musikalitas saya yang masih kurang tinggi untuk bisa mengerti "wahyu" yang diberikan ini. Vrijeman membuat saya memberikan julukan kepada musikalitas Sore (secara banal) sebagai BarongSai Rock. Dengan rincian ingredient Jreng gitar distorsi plus gebukan drum bertubi-tubi "cass cess" pukulan cymbal plus duer duammm Jeggerrr petasan. Tapi nice ending (mungkin Sore mengerti setelah diberi latihan inti yang ngos-ngosan perlu adanya pendinginan).

2. Senyum dari Selatan
Duh, dimana lagi saya bisa mendengar musik seindah ini. Sebuah nada "klasik" nan sendu yang dengan cepat mendapat tempat di kuping dan hati saya dari kali pertama mendengarnya, namun lagi-lagi ada yang mengganggu keagungan dari kesederhanaan yang seharusnya menjadi kekuatan di lagu ini. Bunyi perkusi yang hadir dalam bentuk marakas agak memberi kesan ribet di lagu ini yang sebetulnya telah muncul dari bebunyian backing vocal yang memang sudah hampir pasti muncul di tiap lagu Sore. Belum lagi suara hi-head cymbal yang menurut saya terlalu "maju ke depan" malah abis itu ada gitar terededet-dedet ditengah-tengahnya lagi yang menarik diri saya dari alam nostalgia klasik untuk sejenak ke zaman robotic. Tapi toh pada akhirnya kejeniusan mereka terbukti dari bagian suara "haaa aaa" wanita / pria setengah wanita itu. Sangat megah layaknya angin sore yang membawa saya terbang melayang menjadi saksi sebuah hari akan diakhiri di sebuah kota yang sibuk dengan hiruk pikuknya (sebut saja kawasan Salemba Jakarta). Lagi-lagi sebuah ending yang brilian diberikan di penutup lagu setelah sebelumnya kuping "diitik-itik" dengan bebunyian-bebunyian yang setiap saya mendengarkan lagi, pasti tersadarkan oleh adanya bunyi baru yang sebelumnya belum saya sadari.

3. Ambang
Fill keyboard ditengah lagu ini lagi-lagi jenius, dan gw yakin hal itu muncul cuma dari kreasinya bung Mondo (ya maaf kalo salah), tapi lagi-lagi "cymbal maut" terlalu bermain barong sai di beberapa bagian lagu, mungkin karena jenis yang dipakai memang cuma crash ya? di satu bagian lagu saya seperti mendengar piring pecah. Dua kali fill keyboard session di lagu ini betul-betul menyejukkan kuping yang mendengarkannya. Mendengar bahwa Mondo sang keyboardist telah resmi keluar meninggalkan Sore, saya agak khawatir plus penasaran, seperti apa jadinya nanti musikalitas Sore selanjutnya.

Beberapa contoh lagu Sore diatas mungkin cuma kekhilafan saya memahami sebuah lagu, dan kalau mau dijabarkan lagi, masih ada beberapa lagu-lagu Sore lain yang "berdosa" di telinga saya. Namun dibalik itu semua ternyata ada juga sebuah lagu sempurna berjudul "silly little thing" feat-Atilia Haron yang terdengar tanpa cela di telinga (saya), atau mungkin masih perlu waktu untuk telinga saya untuk mengungkap bebunyian "ghaib" di lagu tersebut, God Knows.

Demikianlah pendapat saya pribadi sebagai penikmat musik grup band Sore yang baru-baru kemarin muncul di acara Radioshow yang saya lihat ternyata banyak dihadiri penggemarnya yang terlihat manggut-manggut sepanjang lagu apapun yang disuguhkan, mungkinkah mereka juga merasakan hal yang saya rasakan? atau hanya menelannya bulat-bulat seperti sebuah wahyu Tuhan yang pantang kau pertanyakan ulang. Mungkin jika ini adalah sebuah agama, saya bukan penganutnya yang taat. Itu saja. :)



Jumat, 20 Juli 2012

Apa itu Romantisme?

Apa itu romantisme? Suatu sore gw berkendara menuju suatu tempat di bilangan Cakranegara-Mataram, gw menuju suatu toko Buku tua nan sederhana, bernama Toko Buku Jaya. Jangan bayangkan sebuah tempat terang nan luas seperti yang dimiliki oleh Toko Buku semacam Gramedia, Gunung Agung, Aksara, atau bahkan Karisma. Toko Buku Jaya hanya bertempat disebuah bangunan petak tua, dengan luas hanya sekitar 6x3 meter. Begitu kita memasukinya, di tiap sisi dindingnya terpampang rak-rak tempat menaruh buku, majalah, dan koran. Untuk buku, dengan dimensi ruang yang terbatas seperti itu, tidak akan kita temui buku-buku terpopuler baru seperti yang jamak muncul di toko buku lain. Namun, buku yang tersedia memiliki keunikan tersendiri. Buku-buku holistik, yoga, tentang berternak ikan, kiat menembus ujian CPNS, bermain alat musik untuk pemula, sampai buku-buku rohani diletakkan di rak sebelah barat dan selatan. Sedangkan untuk majalah dan koran di rak utara dan timur, Toko Buku Jaya memiliki koleksi yang lumayan up-to-date (karena alasan gw yang mencari majalah rollingstone yang membawa gw selalu kembali ke toko buku ini). Untuk Koran, toko ini menyediakan kompas dan Jawa Pos sebagai surat kabar nasional, dan beberapa surat kabar lokal. Aneka majalah tersedia disini dari majalah wanita sampai audiopro dan audiolifestyle. Dibalik semua hal teknis tadi, toko ini terasa hangat ketika kita datang ke kasir yang dijaga oleh seorang bapak berusia lanjut dengan perawakan sejuk karena senyum yang selalu mengembang saat melayani pembeli. Berbelanja di toko ini adalah apa yang gw sebut dengan romantisme, apalagi ketika tahu bahwa masih ada penjual yang membersihkan majalah / buku yang kita beli dengan kemoceng hanya untuk memastikan semua yang terbaik bagi pembeli. Hehe itulah salah satu contoh kecil romantisme buat gw.

Kamis, 21 Juni 2012

Gagal mencapai Gunung Baru Jari Taman Nasional Gunung Rinjani

Melintasi pinggir Danau Segara Anak Taman Nasional Gunung Rinjani dari basecamp pemancingan jalur Sembalun-Senaru-Torean menuju basecamp jalur Timbanuh bukanlah sesuatu yang mudah. Hal itu sudah saya buktikan sendiri pada hari Senin 3 Juni 2012. 



Dulu (beberapa tahun yang lalu) hal ini masih memungkinkan karena memang para pendaki banyak yang selain mendaki puncak Rinjani, setibanya di Danau Segara Anak (DSA) mereka tidak melewatkan kesempatan untuk mendaki puncak Gunung Baru Jari (GBJ) juga. Untuk menuju GBJ ini maka kita bisa menyisir pinggir DSA dan melewati medan tebing sampai akhirnya tiba di camp pemancingan jalur Timbanuh.

Basecamp Danau Segara Anak via Jalur Timbanuh

Namun beberapa tahun yang lalu (lebih baru daripada Dulu yang diatas) saya mendengar bahwa jalur tersebut sudah tidak bisa (sangat sulit) dilalui akibat longsor pada tebing yang sering terjadi. 

Longsoran Besar Pertama

Longsoran Besar Kedua
Pagi itu pukul 6.30, saya mencoba sendirian untuk menyusuri jalur tersebut. Prinsip saya mudah saja, selama jalurnya jelas dan tidak berbahaya saya akan tetap berjalan untuk mengetahui sejauh mana jalur itu bisa ditempuh, dengan harapan bahwa rumor jalur tersebut sudah tidak bisa dipakai akibat longsor tidak terbukti dalam artian jalur sudah diperbaiki namun informasi mengenai hal itu belum tersebar luas, satu hal lagi yang saya jadikan patokan adalah (agak miris sih) sampah plastik yang bisa ditemui, selama masih terlihat sampah plastik, apalagi terlihat masih baru, berarti jalur tersebut masih "manusiawi". Dengan tas daypack berisikan botol minum tentara berisikan penuh air putih, kamera, buku catatan, saya memulai perjalanan. 

Longsoran Besar Kedua

Longsoran Besar Kedua

Oh iya, arah perjalanan adalah menyusuri pinggir DSA ke arah timur, awal perjalanan jalur terlihat jelas dengan adanya sampah plastik ataupun sisa makanan yang terserak di pinggir danau. Adanya sisa perapian menandakan beberapa tempat menjadi favorit para pemancing untuk bermalam. Namun semakin jauh, sampah semakin jarang ditemui, dan beberapa kali jalur menjadi menanjak dan menjauhi tepi danau, walaupun pada akhirnya akan kembali mendekati danau. Semakin jauh melangkah jalan setapak mulai tertutupi lebatnya ilalang di kanan kirinya, hal ini menandakan bahwa jalur tersebut telah jarang dilalui orang dan  1 atau 2 kali saya terpaksa menyeburkan kaki ke danau dan melintasi sisi dangkalnya karena saya tidak menemukan jalur di darat, entah karena jalurnya harus lewat air atau jalur daratnya sudah sedemikian lebat tertutupi ilalang sehingga saya tidak dapat melihatnya. 

Longsoran Besar ke-3
Beberapa kali saya melewati longsoran, baik besar maupun kecil, hal tersebut tentu memerlukan keawasan lebih dalam melangkah, karena potensi longsor batu senantiasa menghantui. Saya mencatat melewati 4 buah longsoran besar dan longsoran-longsoran kecil yang tak kuhitung jumlahnya. Langkahku terhenti di longsoran ke-4, sebuah bekas longsoran yang meninggalkan bentuk lorong berbentuk V dengan batu-batu yang masih dengan mudahnya longsor saat diinjak. Disini saya memutar otak untuk bisa melalui longsoran ini. Pertama dengan mencoba untuk semi-rock climbing, seperti yang telah saya lalui pada longsoran kedua, namun disini batu-batunya tidak dapat dijadikan pegangan karena masih mudahnya tercerabut, demikian juga dengan akar-akar rumput sangat mudah tercabut. Saya berkesimpulan bahwa tanah disini masihlah labil dengan kata lain, ini adalah sebuah longsoran baru. 

Longsoran Besar ke-4

Longsoran Besar Ke-4 (perbesaran)

Sialnya saya menyadari hal ini ditengah-tengah climbing, sehingga menyulitkan diri untuk turun kembali sedangkan pengangan tangan sedikit demi sedikit semakin terlepas dari tanah, hal ini sempat membuat saya panik, karena tanpa pegangan tangan yang kokoh saya bisa terjatuh dan terjerembab sampai ke danau. Sungguh pengalaman mengerikan, dalam kondisi seperti ini ketenangan bisa menjadi penyelamat nyawa kita. Sambil berpacu dengan waktu seiring pegangan tangan yang semakin melemah, saya berusaha secepat mungkin mencari pegangan baru, beruntung saya menemukan rumput yang bisa dijadikan pegangan sementara walaupun juga terlihat tercerabut dari tanah, namun saya bisa membeli waktu sedikit demi sedikit untuk mencari jalan turun kembali. 


Alhamdulillah saya bisa kembali ke dasar tanah stabil dengan tidak terperosok sedikitpun, selanjutnya masih kurang puas sama mencoba untuk menyusuri jalur longsoran dan ini merupakan ide buruk, karena batu-batunya sangat rapuh kedudukannya, sehingga sebelum melangkah terlalu jauh saya meyurutkan niat bodoh saya ini. Turun kembali melalui jalur longsor ini pun bukan sesuatu yang tanpa rasa takut, tapi untunglah kembali saya kembali di titik stabil dengan selamat. Namun, mengingat bahwa camp timbanuh sudah sedemikian dekatnya, saya bisa mendengarkan para pemancing disana sedang bercakap-cakap, dan saya amati bahwa ini adalah longsoran terakhir sebelum melewati rimbun lebat pepohonan sebelum tiba disana, terpacu oleh hal itu, saya kembali mencoba cara pertama tadi. Kali ini kembali saya menemui kegagalan dengan kengerian yang sama. 


Sejenak saya berpikir, bahwa kalau kondisi tanahnya selabil dan seterjal ini, tidak mungkinlah menjadi suatu jalur bagi para pendaki. Pasti ada jalan lain, atau memang ini adalah jalan buntu. Saya berjalan ke barat menuju suatu tempat yang agak menjorok ke danau, sepertinya di tempat ini pernah ada pemancing (yang mau berjalan sejauh ini) "nongkrong" untuk memancing karena ada sampah disini walaupun sedikit. Dari tempat ini saya beristirahat, tepat didepan lubang kawah Gunung Baru Jari, dan dapat melihat dengan lebih jelas bekas longsoran besar tersebut, dan memang dari titik saya duduk tersebut saya bisa dengan jelas mendengar orang-orang pemancing di camp Timbanuh bercakap-cakap dalam bahasa sasak, sayup-sayup namun cukup jelas terdengar, karena jika ditarik garis lurus, jarak saya dan mereka tidak lebih dari 100 meter. Gemas juga memikirkannya, sementara pilihan untuk melintasi daerah dangkal danau seperti yang telah saya lakukan sebelumnya juga tidak memungkinkan karena ada daerah tebing terjal dimana bagian pinggir danaunya tidak terlihat dangkal, dan untuk merayap di tebing seorang diri juga bukanlah pilihan yang bijak. Terlintas pikiran untuk berenang saja menuju camp tersebut seandainya saya membawa tas kedap air, atau ada kawan yang menemani saya menjaga tas bawaan. Namun keinginan saya tak sejalan dengan realitas yang saya temui saat itu.

Jarak dari tempat terakhir ke Basecamp jalur Timbanuh

Akhirnya saya menghabiskan waktu sejenak di tempat itu untuk menulis diary sejenak, sungguh suasana yang menenangkan, ikanpun banyak terlihat di tepi danau tempat saya duduk ini. Di tengah menulis, saya mendengar dentuman seperti bom. Ternyata Gunung baru Jari sedang meletup, 2x terdengar dentuman diikuti dengan munculnya asap dari lubang kawah. 


Tebing terjal yang menghalangi untuk melangkah lebih jauh

Kawah Gunung Baru Jari
Puas menikmati kesunyian, waktu telah menunjukkan pukul 10, waktunya untuk kembali ke basecamp. Namun disini masalah yang lebih besar menanti. Saya kehilangan jejak jalur awal, terutama setelah melewati longsoran besar ke-3, jalur yang seharusnya ada disisi bawah, namun saya menempuh jalur atas karena saya pikir disinilah tadi jalur yang agak menanjak, ternyata jalurnya terdiri dari tanah-tanah yang labil penuh dengan jelateng. Aduh, saya sempat terperosok jatuh lumayan dalam disini, 4-5 detik saya terperosok, cukup tinggi juga, untungnya saya hanya menderita lecet di tangan dan kaki. Saya kembali berpikir, setiap nyasar saya harus kembali ke titik awal titik paling yakin, dan memikirkan ulang jalur selanjutnya. 

Di tengah nyeri tangan dan kaki yang tertusuk duri, saya mencoba turun ke sisi bawah, dan benar saja disana ada jalur saya tadi, namun seperti jalur lainnya, tertutup oleh semak belukar. Dari situ, saya terus berhati-hati dan mengingat dengan keras jalur-jalur yang saya lewati di awal perjalanan tadi. Sampai pada akhirnya saya menemui pemancing pertama di tempat yang tadi pagi belum ada orangnya. Seluruh perasaan lega pun datang melihat satu demi satu pemancing tersebut yang dengan fokusnya sedang asik memancing. Seorang dari mereka pun bertanya dari mana saya, saya pun menjawab habis nyasar sambil tersenyum malu.

Gunung Baru Jari dari Posisi terakhir
Pelajaran yang bisa diambil dari kisah saya adalah, jangan pernah pergi ke suatu tempat baru yang belum jelas bentuknya sendirian, dan yang kedua selalu beri tanda pada jalur yang pernah dilewati (ini dia yang saya lupa), ketiga selalu pakai akal sehat dan tidak memaksakan diri. Untuk saya pribadi, hal ini adalah sebuah pelajaran langsung yang saya terima dari Ibunda Rinjani tercinta. :)