Kamis, 03 Januari 2013

BIL 5 menit OK vs SOETTA 25 menit Not OK


Antara Bandara Internasional Lombok (BIL) dengan  Bandara Soekarno-Hatta (Soetta) tentu terdapat sebuah garis perbedaan yang jelas. Salah satu perbedaan dalam hal kebijakan toleransi check-in penerbangan kedua bandara tersebut yang ingin gw tuangkan dalam tulisan ini. 

Tersebutlah pada suatu hari, seorang Gw sedang harap-harap cemas dalam sebuah mobil travel yang akan membawa gw menuju BIL. Bagaimana gak cemas, kalau dari Mataram saja travel tersebut setelah menunaikan kewajibannya untuk jemput sana-sini (maklum travel) baru otw ke BIL kurang dari 1 jam sebelum jadwal pesawat takeoff. Bener aja, sampe bandara jarak waktu gw dan take-off cuma 5 menit! Ah, udah sempat putus asa juga pas sampe di BIL, tapi udah kepalang tanggung sampe bandara, udah keluar duit travel pula, akhirnya coba aja masuk ke counter check-in, ajaibnya BISA!!!

Nah kisah diatas langsung aja gw cut, sekarang langsung kita menuju bandara Soetta tercinta yang terkenal super cibuk. Alkisah kemarin gw dijadwalkan terbang pukul 20.00 WIB, karenanya gw mencoba berangkat dari rumah pukul 17.00 WIB. 3 jam gw pikir udah lebih dari cukup untuk menjangkau Soetta dari terminal Rawamangun dengan menggunakan bis Damri. Ternyata astaga saudara-saudara, mulai masuk tol semua ketenangan berubah menjadi kegelisahan pekat. Macet tiada tara terjadi diikuti dengan berjalan padat mensiput (saking leletnya). Seumur-umur gw menggunakan jasa penerbangan via Soetta alokasi 2-2,5 jam biasanya cukup, ini udah gw kasih 3 jam ternyata... sampai di bandara pukul 19.35 dan hasilnya?? ditolak check-in dengan alasan terlambat 5 menit, dan sudah dibuat MANIFESTO. 

Yah, entah kebijakan apa yang ada di kedua bandara tersebut sehingga terjadi sebuah perbedaan perlakuan atas konsumen-konsumen yang tidak beruntung macam gw ini. Alasan pasti ada, biarpun alasan itu benar adanya, dibuat-buat, atau hanya sekedar sebuah bentuk kemalasan bertindak lebih. Tapi sudahlah, Gusti Allah ora sare.

Senin, 31 Desember 2012

Perjalanan Panjang Akhir Tahun


Mungkin sebagian dari kalian lebih suka menghabiskan sebagian waktu kalian berada di suatu tempat dimana banyak orang berada disekelilingnya. Ada juga yang memilih untuk menyendiri dalam suatu kesunyian. Apapun pilihannya, dunia menyediakan tempat bagi kedua pilihan tersebut. Termasuk untuk pilihan kedua. Dalam sebuah jalur perjalanan Dampit menuju Lumajang via Piket-Nol ba'da maghrib, hiruk pikuk dunia seperti telah ditarik dari peredarannya. Mungkin turunnya hujan sedari siang hingga beberapa kali saat ku beperjalanan, yang membuatku beberapa kali menepi untuk sekedar berteduh dan menikmati suasana, turut menyumbang sebagian besar porsi kesunyian dunia.

Hanya suara serangga malam dan hujan yang mendominasi indera pendengaranku, dengan sesekali bunyi kendaraan berlalu didepanku menghadirkan sebuah kegaduhan dalam tempo sekejap untuk kemudian terserap kembali dengan cepat kedalam gelapnya kesunyian malam. Udara dingin mulai mencoba untuk mendominasi suhu tubuhku. Jalur ini pernah kutempuh 2 tahun sebelumnya dalam perjalanan Lombok menuju Jakarta, sehingga di beberapa titik tempat, seperti menceritakan sebuah kisah keintiman yang pernah timbul antara aku dengan tempat-tempat sunyi ini.

Hujan turun selalu hanya dalam waktu yang tidak lama, untuk mengizinkanku kembali beperjalanan untuk kemudian menyuruhkan kembali menepi dan kemudian hilang kembali. Demikianlah siklus hujan malam itu menemani perjalananku. Di tengah absennya hujan, bulan waxing gibbous - setengah lingkaran memberikan sinarnya ketika mengintip dari balik tabir awan memberikan siluet cerah kepada Gunung Semeru disisi utara. Begitu tenang sang Mahameru saat itu, sangat jauh berbeda ketika kulihat dari kotak televisi ketika memberitakan murka sang gunung. Jalanan berliku di gelap malam, sesekali diterangi oleh cahaya truk dan mobil yang berjalan berlawanan arah. Kota-kota kecamatan kecil juga memberi cahaya ketika aku melewatinya, setelah itu kembali gelap, kembali sunyi, dan kembali dingin. Warung kecil di pinggir jalan juga memberikan setitik terang bagi malam ditengah rimba Piket Nol.

Setiba di kota Lumajang, situasi ternyata berubah total. Kota yang masih dalam suasana pesta perayaan hari jadinya tanggal 15 Desember kemarin. Harjalu (Hari Jadi Lumajang), masih terlihat dirayakan oleh para penduduknya, 3 buah mobil dengan speaker besar yang tak henti-hentinya menghadirkan kebisingan musik-musik dari dangdut sampai PSY-gangnam style kepada telinga para penduduk yang sedang menikmati malam di sepanjang jalan. Aku sendiri bergegas langsung melewatinya menuju kesuatu tempat dimana kesunyian lain akan memelukku.

Beberapa tempat memang masih (sangat) sepi

Snorkeling di penghujung tahun


Beberapa orang yang peduli dengan penanggalan Masehi akan menganggap hari ini adalah hari terakhir tahun 2012, buat saya hari ini sama saja dengan hari-hari sebelumnya (ga tau jika dengan hari esok). Tapi ga ada salahnya juga untuk menganggap hari ini sebagai hari terakhir di tahun 2012 untuk memberi bumbu pada hari agar terasa sedikit gurih.

Agak siang sekitar pukul 10.30 ketika saya memulainya, awalnya air masih cukup jernih (walau tidak terlalu jernih juga) dan menjadi sangat keruh di paruh akhir, kondisi arus air cukup kuat. 

Tidak ada spesies ikan yang cukup menarik dalam sesi snorkeling kali ini, Mungkin keterbatasan jarak pandang mempengaruhi penampakan para ikan tersebut. Sebuah pufferfish (Family Tetraodontidiae) berwarna abu-abu kekuningan sempat terlihat disebuah karang datar (table coral / Acropora) Namun si Puffer ini adalah jenis hewan pemalu, ketika didekati diapun segera menjauh, jikalau saat itu kondisi air lebih jernih mungkin gambar akan bisa didapat namun dengan cepat si Puffer lucu itu segera menghilang dibalik keruhnya air. 

Pembelajaran teknik freediving memberikan banyak manfaat dalam snorkeling kali ini, selain dari durasi waktu submerge yang lebih lama, gerakan dibawah air pun menjadi lebih lugas sehingga pengambilan gambar bawah air dapat menjadi lebih leluasa. Jika ada satu hal yang menghambat, hal itu adalah arus bawah yang lumayan kuat sehingga sempat membuat oleng ketika akan mengambil gambar.

Karang Meja dengan Bioluminescene di pinggirnya
Ketika sampai disuatu tempat dimana terdapat banyak anemon subur didalamnya, kondisi kejernihan air sudah sedemikian buruknya, sehingga gambarpun hanya dapat diperoleh seadanya. Terakhir seekor Morray Eel kecil secara tidak sengaja saya temukan, seperti biasa dia menyembulkan kepalanya seperti garang, namun sebetulnya mereka adalah hewan pemalu yang jika kita dekati lebih lagi mereka akan memilih untuk bersembunyi. Sifatnya sangat berbeda jauh dengan tongkrongannya.

Beberapa foto berhasil diambil walaupun banyak yang hasilnya kurang baik, berikut adalah beberapa yang terpilih. :)

Hutan Kecil Anemon (sayangnya housing underwater sudah mulai fogging)




Minggu, 30 Desember 2012

Yuhuu jadi ini akhir 2012..


Senin pagi hari terakhir tahun 2012, berartikah? entahlah kalau gw sendiri merasa pagi ini bangun lebih pagi dengan rasa pusing dan tidak nyaman yang sama. Pertanda ketidakseimbangan aliran energi? mungkin saja. Manusia hanya sedikit saja mengenal jagad raya, bahkan jagad raya dalam dirinya :0

Di Mataram pagi ini cerah mungkin secerah para penduduknya yang dari kemarin terlihat antusias menyambut tahun baru 2013. Bagi sebagian orang tahun baru kali ini mungkin lebih terasa istimewa karena baru saja terlepas dari ancaman kiamat. Tapi sekali lagi itu bagi sebagian orang lho ya. Percaya atau tidak yang pasti awam selalu berjumlah mayoritas. Awam yang dengan congkaknya berseloroh akan keyakinan fanatiknya, awam yang bersikap skeptis, atau awam yang bersikap masa bodoh. Tidak ada yang salah, karena bisa saja pada tanggal prediksi terjadinya kiamat tersebut memang ada sekelompok kecil manusia yang dengan aksi kepahlawanannya berhasil menyelamatkan bumi dari kehancuran, entah itu dari ancaman meteorit, berhentinya rotasi bumi, ledakan matahari, atau ledakan semesta, entah aksi tersebut dilakukan dengan cara apa kita tidak pernah tahu karena memang tidak ada publikasinya. 

Dalam era sekarang ini publikasi memang sedemikian membutakannya penilaian berjuta manusia. 

Apapun itu, omongn tanpa arah akhir tahun ini menggambarkan pula tahun tanpa arah yang akan segera berakhir (setidaknya berdasarkan kalender masehi).

Selamat tahun Baru

Selasa, 30 Oktober 2012

Menua, Mendewasa, namun Tetap Berjiwa Muda??


Berikut adalah tulisan saya yang berisikan unek-unek saya tentang berlebihannya orang Indonesia (ga semuanya sih) memandang penambahan usia, ya harus gini lah, ya harus gitu lah, entah dari mana mereka mendapatkan pakem seperti itu dan tanpa berpikir lebih dalam langsung menganggapnya sebagai suatu kebenaran. Dan kapan pakem itu muncul? entahlah.

Tulisan ini juga tidak akan saya promosikan di facebook atau twitter, karena memang bukan ditujukan untuk banyak orang yang ga mempunyai cukup nasib untuk membacanya, tapi juga ga akan saya simpen buat diri saya sendiri juga di dalam buku diary. Jadi adalah nasib mujur jika anda kebetulan terdampar di blog ini, trus pas baca postingan ini dan menganggapnya sebagai sebuah masukan berharga dalam hidup anda. Boleh juga anda menganggapnya sebagai suatu kesialan, ketika membaca sebuah ide yang sangat tidak sesuai dengan cara pandang anda atau tidak dapat sedikitpun masuk kedalam pakem yang sudah sangat tertanam dalam diri anda, mungkin buang-buang waktu untuk anda untuk membacanya. Jadi semua kembali kepada anda dan nasib anda.

Menjadi tua, menjadi dewasa, menjadi berjiwa muda. Saya mempunyai cara pandang sendiri(tapi tidak berani mengatakan berbeda karena sangat mungkin ada manusia lain di dunia ini yang memiliki cara pandang sama) dalam memandang ketiga poin tersebut. Ketika banyak orang berkata, tua itu pasti dan dewasa itu pilihan. Maka saya akan berkata (dengan lantang) bahwa Tua itu pasti, dan menjadi dewasa adalah HARUS! berjiwa muda adalah pilihan. 

Landasan berpikirnya adalah, jika kedewasaan adalah sebuah pilihan maka menjadi tidak dewasa adalah sesuatu yang wajar? menurut saya (pribadi) sih tidak. Kedewasaan adalah sebuah proses yang diperoleh dengan berjalannya waktu, sangat sulit untuk menjadi dewasa tanpa menjadi tua. Walaupun ada orang yang berusia lebih muda mampu bersikap lebih dewasa dibandingkan dengan orang lain yang lebih senior darinya. Namun, kedewasaan memang tidak dapat dipaksakan, namun bisa diusahakan. Melihat orang berusia banyak yang tidak dewasa dalam memandang suatu masalah hanya akan menimbulkan kemuakan bagi yang melihatnya, termasuk saya. Saya sendiri selalu menganggap diri masih berproses menuju kedewasaan, namun saya tidak akan mentolerir jika diri saya tidak pernah menjadi dewasa. Menjadikan kedewasaan sebagai suatu pilihan adalah sesuatu yang salah kaprah karena hal ini berarti kita mentolerir adanya ketidakdewasaan di masyarakat sana. Namun yang namanya keharusan tentu masih ada saja pihak yang tidak melaksanakannya, berbeda dengan menjadi tua yang merupakan suatu keniscayaan, dewasa sebagai suatu keharusan seharusnya memang lebih mengikat dibandingkan hanya dengan menjadi pilihan.

Lalu bagaimana dengan pola masyarakat kita dalam memandang kedewasaan? beberapa orang yang menurut saya salah kaprah lagi-lagi memaksakan pandangannya bahwa menjadi dewasa adalah menjadi kurang beraktifitas fisik, mengurangi ide-ide liar, menjadi lebih pendiam, dan pada akhirnya menasehati "sudahlah, inget umur, udah harus dewasa, ga usah surfing lagi.. " 

Sungguh menggelikan mendengarnya. Ketika kedewasaan diartikan juga dengan jiwa yang menua, yang berarti menjadi dewasa dengan berjiwa muda itu sangat bertolak belakang. Menjadi dewasa berarti meninggalkan naik gunung, surfing, freediving dan menggantinya dengan bulutangkis, tenis, dan sebagainya. Saya suka seluruh olahraga, namun menurut saya, tenis masih bisa saya lakukan saat saya berusia 50 tahun ke atas nanti. Kita tidak bisa melawan umur, karenanya 30 tahun bahkan 40 tahun usia yang terlalu muda untuk beralih ke olahraga minim adrenaline. Tentunya pandangan saya tidak harus berlaku kepada semua orang, hanya ditujukan bagi para penganut paham kedewasaan = penuaan jiwa.

Hal ini tentu saja akan berpengaruh ketika (kalau mau) memiliki keturunan kelak, tahu kenapa para anak terkadang lebih dekat kepada teman-teman sebayanya dibanding orang tuanya? Karena orang tua mereka sudah berjiwa tua! frekuensinya jauh berbeda dari anaknya. Dan berani taruhan bahwa mayoritas masyarakat memandangnya sebagai suatu kewajaran. Menurut saya? Nggak! Minoritas hubungan orang tua-anak yang saya lihat asik adalah ketika orang tua nya mampu mendewasa dengan baik tanpa kehilangan jiwa mudanya. Hal ini yang membuat para anaknya betah untuk berada didekat orang tuanya, karena frekuensi pergaulan bapak-ibunya meluas seiring pertambahan usia bukan malah bergeser.

Memang yang gampang adalah membiarkan diri kita untuk menua dan menyerah pada hormon sambil menunggu mati, namun setiap kemudahan akan ada konsekuensinya. Apa yang kita tanam hari ini adalah buah di keesokan hari. Jika suatu hari nanti kita semua merasa sudah bahagia dan merasa congkak akannya, coba lihat kehidupan kita dalam lingkup yang lebih luas maka dijamin akan kita temukan banyak kekurangan yang ada dalam kehidupan kita. Apa yang akan kita keluhkan dikemudian hari adalah buah dari kehidupan dan pilihan yang kita buat hari ini. Silahkan menjadi tua, jiwa dan raga anda. Silahkan anda mendewasa dengan cara anda sendiri. Namun harus anda ketahui bahwa banyak cara untuk mendewasa tidak melulu hanya berdasarkan pakem yang berlaku di masyarakat banal ini. 

Lalu salahkah jika seorang manusia menua, dan mendewasa, namun tidak berjiwa muda?? Tidak. tidak salah dengan hal itu, karena ukuran benar salah hanya ada pada unsur pertama dan kedua. Menjadi tidak tua? berarti ada yang salah dengan struktur biologisnya, cacat! Menjadi tidak dewasa? ini salah total, selamanya bersikap layaknya anak-anak. orang seperti ini ga layak punya keturunan. Berjiwa muda? hal ini hanya akan mempengaruhi kadar "keasyikan" hidup anda dan bagaimana orang-orang disekeliling anda memandang anda. Tidak berjiwa muda it's oke.. silakan, tapi menurut saya hal itu tidak asik karena sangat biasa, dan mungkin anak cucu kita akan bosan sama kakek neneknya. Namun orang tua yang berjiwa muda adalah makhluk langka yang keberadaannya akan selalu dicari dan dinantikan.

Mendewasalah dan perluas khasanah kehidupan anda, jangan tinggalkan hobi masa muda anda hanya karena alasan menjadi dewasa, karena hal itu akan sangat berguna bagi pergaulan anda dengan anak anda kelak. Dan satu lagi, jangan biarkan gunung-gunung di Indonesia hanya dijelajahi oleh manula-manula bule asing, pertanyaan yang timbul adalah kemana para manula-manula pribumi berada??? duduk di teras sambil minum teh dan gorengan sambil dengan congkak dan bangganya bercerita pada anak cucunya, "dulu saya pernah mendaki" , "tahun segini saya bisa finis ikut lomba...", percayalah akan lebih menarik dan memberi teladan bagi cucu kita kelak jika mereka mendengar "minggu lalu kakek baru ikut lomba olympic triathlon dan finish di urutan 123" atau "besok nenek mau naik gunung rinjani 4 hari, mau ikut??" terdengar jauh lebih bagus kan. satu lagi, berjiwa muda ga harus memakai ukuran aktifitas fisik kok, cuma disini saya kebetulan menggunakan variabel kegiatan fisik aja sebagai salah satu contohnya. Definisikan jiwa muda menurut diri kita masing-masing, dan pertahankan hal itu. 

Tua itu Pasti
Dewasa itu Harus
Berjiwa Muda itu Pilihan

PS. Saya pun masih berjuang untuk mewujudkannya.

Senin, 22 Oktober 2012

Secangkir kopi pagi ini

kupi gw tinggal sedikiit..

Terbangun pukul 03.30 dengan kondisi badan yang sedang kurang sehat ditambah beban pikiran untuk menyelesaikan konsep skripsi sesuai dengan keinginan dosen pembimbing. Tapi sejenak gw singkirkan dulu topik skripsi dari tulisan kali ini karena dia telah menyita waktu gw untuk membaca berbagai esai dan jurnal yang membuat pagi gw dengan cepat menjenuh dari sebuah keadaan pagi yang ideal. Oke, kembali soal kopi. Pagi ini gw minum Top Kopi yang kata bang Iwan Fals adalah kopinya Orang Indonesia, ga tau orang indonesia disini semua WNI termasuk gw atau OI - fanbase nya dia, yang gw seduh adalah kopi hitam plus gula sachetan. Sebetulnya bukan kebiasaan rutin gw buat mengkonsumsi kopi di pagi hari, tapi berhubung gw lagi kurang sehat maka banyak orang ahli mengatakan "dengarkan tubuhmu sendiri", maka karena pagi ini rasanya fokus gw kok kurang tajam maka gw putuskan (setelah bersepakat dengan tubuh) untuk minum kopi panas. Keterbatasan pilihan cepat membuat gw memilih kopi hitam, sempat tergoda untuk mencoba "kopi banci" yang biasa dikonsumsi para kaum urban di pagi hari. Buat yang belum tau, kopi banci adalah istilah yang gw dapet dari buku filsafat kopi nya dewi lestari yang merupakan komposisi dari 1 (sendok teh) kopi instan, 2 gula pasir, 3 non-dairy cream. Namun dalam perkembangan selanjutnya gw menyebut semua kopi instan sachetan yang dipersenjatai dengan cream sebagai "kopi banci", dan gw lumayan rutin juga mengkonsumsinya. Namun pagi ini pilihan jatuh pada "kopi jantan" walaupun tadi ada sisa 1 sachet kopi banci. Selain kopi gw sempat mencoba untuk merutinkan kebiasaan minum teh hijau tanpa gula tiap pagi yang konon katanya kaya anti oksidan, tapi pagi ini stok teh hijau sedang abis.
Entah betul atau tidak, tapi sepertinya ini adalah sugesti, mengkonsumsi minuman berasa (walaupun pahit) baik itu teh atau kopi panas di awal pagi seperti "membukakan mata" gw, bisa jadi ini adalah efek kafein yang dikandung kedua jenis minuman tersebut. Namun membicarakan kafein dan hal-hal ilmiah di pagi hari terasa kurang asik, maka gw lebih menekankan pada soal sugesti. Terkadang gw minum kopi pahit juga di pagi hari, tergantung tubuh ini lagi ingin yang mana dan seperti apa. Logika pun seperti dibuat meningkat olehnya, namun gw sadar bahwa sugesti ini tidak boleh "diberi makan" terus menerus, sehingga dengan sengaja gw melubangi jadwal minum pagi yang ternyata mood gw juga tidak down jika ritual ini gw lewatkan. Tapi ritual bangun pagi mendahului matahari tetap harus dipertahankan, gw bangun pukul 04.44 tiap pagi (seenggaknya itu yang tercantum di waker), ritual 04.44 ini udah bertahan selama 10 tahun. Pertama kali dulu gw inget, pengesetan waktu ini gw lakukan dalam rangka persiapan sidang ujian diploma III, karena space waktu yang disediakan (sampai benar-benar beraktifitas) cukup ideal dan angkanya juga bagus maka sampe sekarang gw memilih setting waktu tersebut sebagai penanda kapan gw bangun.
Pagi ini gw ditemani background musik yang kebetulan nemu di youtube yang nada-nadanya mengingatkan gw akan musik-musik yang biasa disetel di lounge-longue ataupun cafe di kawasan wisata pantai (selain reggae pastinya), ini dia link nya





alunan musiknya membuai diri ini seakan berada di gili trawangan. Oke, kita akan memulai hari mulai sekarang. Kembali menceburkan diri ke dalam rencana skripsi, dan kembali menghabiskan segelas kopi yang mulai mendingin.


Rabu, 17 Oktober 2012

Ular Naga Panjang itu bernama Kemacetan

Jikalau sudah waktunya saya untuk kembali ke Bintaro di ujung barat jakarta dari ujung timur jakarta, maka pastilah itu pada sebuah pagi hari yang buta. 

Hal itu karena saya berpindah dari suatu daerah sub urban menuju daerah sub urban lainnya di sisi yang berseberangan.Maka sepanjang perjalanan sebuah pemandangan unik saya dapatkan, bukan suatu hal yang baru tentunya, namun tak pernah berhenti membuat saya kagum sekaligus prihatin di sisi lainnya.

Sebelumnya saya selalu menganggap perjalanan ini terbagi dalam 2 bagian dengan Jalan Sudirman sebagai garis pemisahnya. Pada bagian pertama, perjalanan saya akan ditemani oleh para sejawat pengguna jalan yang ingin menjadi early birds catch the road, sama seperti saya yang sangat enggan jika ada sedikit saja waktu dalam hidup ini yang terbuang sia-sia hanya karena terjebak kemacetan. Jalan yang saya tempuh adalah ruas jalan kolonel sugiono, jalan casablanca, dan masuk jalan prof.Dr.Satrio sebelum tiba di Jl.Jend.Sudirman. Jika saya bisa memulai perjalanan dibawah pukul 5 pagi, maka jalanan yang relatif lowong untuk ukuran jakarta menjadi hadiahnya, yang akan membuat hati legowo dalam perjalanan paruh pertama, namun jika setelahnya maka jalanan akan mulai padat merayap karenanya walaupun belum dapat dikatakan macet. 

Hal yang saya tangkap sebelum memotong jalur jend. sudirman adalah hiruk pikuk penduduk kota jakarta yang telah meningkat jauh baik dari segi volume maupun dari segi tensi persaingan memperebutkan meter demi meter ruas jalan yang ada,  jika dibandingkan dengan waktu sebelum saya pernah meninggalkan kota ini untuk beberapa waktu. Ditambah lagi dengan adanya pembangunan flyover di jalan casablanca yang membuat jika kita memulai perjalanan pada pukul 6 pagi keatas, maka dipastikan akan terjebak kemacetan yang tidak mengenakkan rasanya pada ruas jalan tersebut, Untuk persaingan seperti yang saya dapatkan pada pukul 5 pagi ini, saya sudah menganggapnya sebagai tensi rendah karena apa yang saya lihat di paruh kedua perjalanan adalah sebuah fenomena bagaimana manusia termobilisasi oleh sebuah atau lebih alasan (walaupun mayoritas sepertinya sama) menuju satu arah tujuan pada tiap pagi dan sore harinya.

Selanjutnya adalah paruh kedua perjalanan, selepas melewati jl. jend. Sudirman dengan sebuah jalan layang, saya berbelok di kuburan karet bivak untuk kemudian masuk palmerah dan berlanjut ke Jalan Veteran. Pada sesi ini saya bukanlah menjadi bagian dari gelombang manusia yang berjalan satu arah tersebut, namun menjadi penonton karena saya melaju berlawanan arah dengan para pekerja yang berasal dari daerah barat jakarta menuju pusat jakarta, alhasil pemandangan yang saya lihat pun adalah sebuah ular panjang barisan kendaraan bermotor yang tak berhenti bahkan saat saya sampai di bintaro. Sebuah pemandangan yang selalu membuat saya mengurut dada dan bersyukur bahwa sampai saat ini saya bukanlah bagian dari antrian kendaraan bermotor yang mengular seperti itu. wajarlah jika penduduk jakarta yang modern ini sebetulnya hanya menginginkan satu permintaan sederhana kepada sang gubernur terpilih, yaitu atasi kemacetan, selain banjir. 

Untuk saya pribadi, saya pun yang dalam 2 tahun terakhir ini hampir tiap minggu menyaksikan pemandangan seperti ini hanya menginginkan sebuah kualitas hidup yang tidak harus menjadi ular panjang berpolusi timbal yang rutin tiap pagi terjadi di hampir tiap sudut kota jakarta. Pertanyaan yang sering muncul di benak saya adalah, tidakkah keinginan saya juga pernah tersirat di benak para manusia-manusia lain di jakarta? mengapa mereka masih menginginkan untuk tinggal di kota yang menawarkan kualitas hidup yang buruk ini. Atau mungkin ketiadaan pilihan yang membuat mereka harus menjalani hidup layaknya mengikuti arus sungai yang tak pernah kering walau musim berganti.

Saat saya menyelesaikan tulisan ini, saya pun menyadari bahwa saat ini pun sang ular sudah mulai menggeliat dan memanjang siap untuk menerkam jakarta.