Kamis, 21 Juni 2012

Gagal mencapai Gunung Baru Jari Taman Nasional Gunung Rinjani

Melintasi pinggir Danau Segara Anak Taman Nasional Gunung Rinjani dari basecamp pemancingan jalur Sembalun-Senaru-Torean menuju basecamp jalur Timbanuh bukanlah sesuatu yang mudah. Hal itu sudah saya buktikan sendiri pada hari Senin 3 Juni 2012. 



Dulu (beberapa tahun yang lalu) hal ini masih memungkinkan karena memang para pendaki banyak yang selain mendaki puncak Rinjani, setibanya di Danau Segara Anak (DSA) mereka tidak melewatkan kesempatan untuk mendaki puncak Gunung Baru Jari (GBJ) juga. Untuk menuju GBJ ini maka kita bisa menyisir pinggir DSA dan melewati medan tebing sampai akhirnya tiba di camp pemancingan jalur Timbanuh.

Basecamp Danau Segara Anak via Jalur Timbanuh

Namun beberapa tahun yang lalu (lebih baru daripada Dulu yang diatas) saya mendengar bahwa jalur tersebut sudah tidak bisa (sangat sulit) dilalui akibat longsor pada tebing yang sering terjadi. 

Longsoran Besar Pertama

Longsoran Besar Kedua
Pagi itu pukul 6.30, saya mencoba sendirian untuk menyusuri jalur tersebut. Prinsip saya mudah saja, selama jalurnya jelas dan tidak berbahaya saya akan tetap berjalan untuk mengetahui sejauh mana jalur itu bisa ditempuh, dengan harapan bahwa rumor jalur tersebut sudah tidak bisa dipakai akibat longsor tidak terbukti dalam artian jalur sudah diperbaiki namun informasi mengenai hal itu belum tersebar luas, satu hal lagi yang saya jadikan patokan adalah (agak miris sih) sampah plastik yang bisa ditemui, selama masih terlihat sampah plastik, apalagi terlihat masih baru, berarti jalur tersebut masih "manusiawi". Dengan tas daypack berisikan botol minum tentara berisikan penuh air putih, kamera, buku catatan, saya memulai perjalanan. 

Longsoran Besar Kedua

Longsoran Besar Kedua

Oh iya, arah perjalanan adalah menyusuri pinggir DSA ke arah timur, awal perjalanan jalur terlihat jelas dengan adanya sampah plastik ataupun sisa makanan yang terserak di pinggir danau. Adanya sisa perapian menandakan beberapa tempat menjadi favorit para pemancing untuk bermalam. Namun semakin jauh, sampah semakin jarang ditemui, dan beberapa kali jalur menjadi menanjak dan menjauhi tepi danau, walaupun pada akhirnya akan kembali mendekati danau. Semakin jauh melangkah jalan setapak mulai tertutupi lebatnya ilalang di kanan kirinya, hal ini menandakan bahwa jalur tersebut telah jarang dilalui orang dan  1 atau 2 kali saya terpaksa menyeburkan kaki ke danau dan melintasi sisi dangkalnya karena saya tidak menemukan jalur di darat, entah karena jalurnya harus lewat air atau jalur daratnya sudah sedemikian lebat tertutupi ilalang sehingga saya tidak dapat melihatnya. 

Longsoran Besar ke-3
Beberapa kali saya melewati longsoran, baik besar maupun kecil, hal tersebut tentu memerlukan keawasan lebih dalam melangkah, karena potensi longsor batu senantiasa menghantui. Saya mencatat melewati 4 buah longsoran besar dan longsoran-longsoran kecil yang tak kuhitung jumlahnya. Langkahku terhenti di longsoran ke-4, sebuah bekas longsoran yang meninggalkan bentuk lorong berbentuk V dengan batu-batu yang masih dengan mudahnya longsor saat diinjak. Disini saya memutar otak untuk bisa melalui longsoran ini. Pertama dengan mencoba untuk semi-rock climbing, seperti yang telah saya lalui pada longsoran kedua, namun disini batu-batunya tidak dapat dijadikan pegangan karena masih mudahnya tercerabut, demikian juga dengan akar-akar rumput sangat mudah tercabut. Saya berkesimpulan bahwa tanah disini masihlah labil dengan kata lain, ini adalah sebuah longsoran baru. 

Longsoran Besar ke-4

Longsoran Besar Ke-4 (perbesaran)

Sialnya saya menyadari hal ini ditengah-tengah climbing, sehingga menyulitkan diri untuk turun kembali sedangkan pengangan tangan sedikit demi sedikit semakin terlepas dari tanah, hal ini sempat membuat saya panik, karena tanpa pegangan tangan yang kokoh saya bisa terjatuh dan terjerembab sampai ke danau. Sungguh pengalaman mengerikan, dalam kondisi seperti ini ketenangan bisa menjadi penyelamat nyawa kita. Sambil berpacu dengan waktu seiring pegangan tangan yang semakin melemah, saya berusaha secepat mungkin mencari pegangan baru, beruntung saya menemukan rumput yang bisa dijadikan pegangan sementara walaupun juga terlihat tercerabut dari tanah, namun saya bisa membeli waktu sedikit demi sedikit untuk mencari jalan turun kembali. 


Alhamdulillah saya bisa kembali ke dasar tanah stabil dengan tidak terperosok sedikitpun, selanjutnya masih kurang puas sama mencoba untuk menyusuri jalur longsoran dan ini merupakan ide buruk, karena batu-batunya sangat rapuh kedudukannya, sehingga sebelum melangkah terlalu jauh saya meyurutkan niat bodoh saya ini. Turun kembali melalui jalur longsor ini pun bukan sesuatu yang tanpa rasa takut, tapi untunglah kembali saya kembali di titik stabil dengan selamat. Namun, mengingat bahwa camp timbanuh sudah sedemikian dekatnya, saya bisa mendengarkan para pemancing disana sedang bercakap-cakap, dan saya amati bahwa ini adalah longsoran terakhir sebelum melewati rimbun lebat pepohonan sebelum tiba disana, terpacu oleh hal itu, saya kembali mencoba cara pertama tadi. Kali ini kembali saya menemui kegagalan dengan kengerian yang sama. 


Sejenak saya berpikir, bahwa kalau kondisi tanahnya selabil dan seterjal ini, tidak mungkinlah menjadi suatu jalur bagi para pendaki. Pasti ada jalan lain, atau memang ini adalah jalan buntu. Saya berjalan ke barat menuju suatu tempat yang agak menjorok ke danau, sepertinya di tempat ini pernah ada pemancing (yang mau berjalan sejauh ini) "nongkrong" untuk memancing karena ada sampah disini walaupun sedikit. Dari tempat ini saya beristirahat, tepat didepan lubang kawah Gunung Baru Jari, dan dapat melihat dengan lebih jelas bekas longsoran besar tersebut, dan memang dari titik saya duduk tersebut saya bisa dengan jelas mendengar orang-orang pemancing di camp Timbanuh bercakap-cakap dalam bahasa sasak, sayup-sayup namun cukup jelas terdengar, karena jika ditarik garis lurus, jarak saya dan mereka tidak lebih dari 100 meter. Gemas juga memikirkannya, sementara pilihan untuk melintasi daerah dangkal danau seperti yang telah saya lakukan sebelumnya juga tidak memungkinkan karena ada daerah tebing terjal dimana bagian pinggir danaunya tidak terlihat dangkal, dan untuk merayap di tebing seorang diri juga bukanlah pilihan yang bijak. Terlintas pikiran untuk berenang saja menuju camp tersebut seandainya saya membawa tas kedap air, atau ada kawan yang menemani saya menjaga tas bawaan. Namun keinginan saya tak sejalan dengan realitas yang saya temui saat itu.

Jarak dari tempat terakhir ke Basecamp jalur Timbanuh

Akhirnya saya menghabiskan waktu sejenak di tempat itu untuk menulis diary sejenak, sungguh suasana yang menenangkan, ikanpun banyak terlihat di tepi danau tempat saya duduk ini. Di tengah menulis, saya mendengar dentuman seperti bom. Ternyata Gunung baru Jari sedang meletup, 2x terdengar dentuman diikuti dengan munculnya asap dari lubang kawah. 


Tebing terjal yang menghalangi untuk melangkah lebih jauh

Kawah Gunung Baru Jari
Puas menikmati kesunyian, waktu telah menunjukkan pukul 10, waktunya untuk kembali ke basecamp. Namun disini masalah yang lebih besar menanti. Saya kehilangan jejak jalur awal, terutama setelah melewati longsoran besar ke-3, jalur yang seharusnya ada disisi bawah, namun saya menempuh jalur atas karena saya pikir disinilah tadi jalur yang agak menanjak, ternyata jalurnya terdiri dari tanah-tanah yang labil penuh dengan jelateng. Aduh, saya sempat terperosok jatuh lumayan dalam disini, 4-5 detik saya terperosok, cukup tinggi juga, untungnya saya hanya menderita lecet di tangan dan kaki. Saya kembali berpikir, setiap nyasar saya harus kembali ke titik awal titik paling yakin, dan memikirkan ulang jalur selanjutnya. 

Di tengah nyeri tangan dan kaki yang tertusuk duri, saya mencoba turun ke sisi bawah, dan benar saja disana ada jalur saya tadi, namun seperti jalur lainnya, tertutup oleh semak belukar. Dari situ, saya terus berhati-hati dan mengingat dengan keras jalur-jalur yang saya lewati di awal perjalanan tadi. Sampai pada akhirnya saya menemui pemancing pertama di tempat yang tadi pagi belum ada orangnya. Seluruh perasaan lega pun datang melihat satu demi satu pemancing tersebut yang dengan fokusnya sedang asik memancing. Seorang dari mereka pun bertanya dari mana saya, saya pun menjawab habis nyasar sambil tersenyum malu.

Gunung Baru Jari dari Posisi terakhir
Pelajaran yang bisa diambil dari kisah saya adalah, jangan pernah pergi ke suatu tempat baru yang belum jelas bentuknya sendirian, dan yang kedua selalu beri tanda pada jalur yang pernah dilewati (ini dia yang saya lupa), ketiga selalu pakai akal sehat dan tidak memaksakan diri. Untuk saya pribadi, hal ini adalah sebuah pelajaran langsung yang saya terima dari Ibunda Rinjani tercinta. :)






Senin, 18 Juni 2012

Gua Susu dan Gua Taman di TN Gunung Rinjani


Cerita berikut ini adalah mengenai 2 buah Gua yang bernama Gua Susu dan Gua Taman yang ada di Taman Nasional Gunung Rinjani. Kebetulan saat pendakian Rinjani via Torean kemarin saya berkesempatan mampir di keduanya.

pemandangan saat perjalanan menuju Gua Susu

Pertama adalah Gua Susu. Gua ini telah lama saya dengar namanya, tapi baru kemarin (pada akhirnya) berkesempatan melihat seperti apa "si Susu" ini sebenarnya. Gua ini terletak kurang lebih 1 km dari Danau Segara Anak dengan mengikuti jalur Torean. Pertanda jalan menuju gua ini adalah sebuah persimpangan (pertigaan) dimana terdapat sebuah kolam air panas. Banyak pendaki yang lewat atau memang berniat bermalam di tempat ini memanfaatkan kolam ini dari sekedar untuk relaksasi kaki sampai dengan pengobatan. Apa yang membuat kolam ini terlihat unik dan dramatis adalah buih-buih yang muncul dari dasar di bagian tengah kolam, sekilas membuat kolam ini terlihat mendidih airnya dan berkesan horor untuk dipakai berendam, tapi toh setelah dicoba everything's fine termasuk dibagian kolam yang "mendidih" itu, yah walaupun dengan sedikit waktu untuk penyesuaian juga. 
Kolam air panas di persimpangan jalan menuju Gua Susu

Dari persimpangan jalan itu, Gua Susu tinggal berjarak kurang lebih 300 meter dengan menempuh jalan tersendiri, Gua Susu dapat ditemui dengan mudah karena dia terletak di ujung jalan alias jalan buntu. Penampakannya adalah sebuah tebing dengan beberapa mulut gua yang bertingkat-tingkat yang beberapa mulut gua tersebut mengeluarkan air dari dalamnya. Namun Gua Susu dapat dikenali dari warna mulut gua yang kekuningan, hal ini dikarenakan endapan belerang yang dikandung dalam air panas yang muncul di dalam Gua. Gua bagian atasnya yang juga mengalirkan air tidak berwarna sama karena yang dialirkan adalah air biasa (dingin).

Di depan mulut Gua Susu

Memasuki Gua Susu sebaiknya dilakukan tanpa alas kaki, tak perlu khawatir dengan licinnya dasar Gua, karena endapan belerang ini membentuk suatu relief yang memudahkan kaki untuk memijaknya dan jauh dari sifat licin. Di Bagian dalam Gua Susu kita akan menemui suatu sumber mata air yang telah disalurkan melalui sebuah pipa, para penduduk lokal yang sering mandi air panas disini yang membuatkannya. Jika kita langsung menyentuhkan kulit di air dari pipa ini, kemungkinan rasanya langsung "NYOSS", maka ada baiknya mengambil waktu sejenak untuk membiarkan kulit beradaptasi terlebih dahulu. Terdapat sebuah ruang yang agak luas di bawah pipa ini, sehingga 5-6 orang bisa duduk bersama sambil bercengkrama menikmati air panasnya. Lebih dalam lagi, Gua akan menyempit dan terdapat suatu ruang yang agak diatas tempat "duduk-duduk" tadi, perlu menggunakan senter untuk masuk ke bagian gua ini. Saya mencoba masuk ruangan ini karena direkomendasikan oleh orang-orang yang duduk di bawah pipa air panas tadi, mereka bilang diatas ada SAUNA. Sayangnya karena uap air panas yang kuat di ruang dalam Gua maka saya tidak bisa mengambil gambar bagian dalam gua.


Mulut Gua Susu

Penasaran saya pun mencobanya, namun ternyata harus menunggu sejenak karena harus antri menunggu 2 orang bapak yang sedang "bersauna" di dalamnya. Setelah tiba giliran saya, dengan hati-hati dalam pijakan dan menjaga kepala agar tidak terantuk relief gua, maka saya sampai di tempat sauna tersebut. Ternyata tempat tersebut hanya muat untuk 2 orang saja, terdapat suatu tempat untuk menjadi diduduki dan satu orang lainnya harus berdiri. Di tempat saya duduk tersebut, kita bisa menikmati uap panas yang berhembus dari dinding-dinding gua, dan jika kita mencoba berdiri, maka uap akan semakin panas, dan kepala rasanya seperti dikukus :) Tidak ada jalan lebih jauh lagi, rupanya tempat sauna itu adalah ujung gua. Mungkin sekitar 3 menit saya bersauna di tempat itu, sambil membayangkan ternyata Gua Susu tidak sebesar seperti yang dibayangkan selama ini. 

Dari percakapan dengan sesama penikmat air panas disitu, saya memperoleh rekomendasi untuk mampir ke bagian dasar Gua dimana juga terdapat kolam kecil berair hangat dan mencoba untuk menghisap air yang menetes dari stalagtitnya. Konon katanya air tersebut berasa seperti susu, walau pada saat saya mencobanya saya tidak merasakan demikian, ya berasa seperti air biasa. Dari situ kemungkinan mengapa Gua ini bernama Gua Susu. Lagipula "puting" susu yang terdapat di bagian atas gua (stalagtit) banyak yang patah, mungkin karena para "penghisapnya" agak hardcore ya, dan mungkin juga karena patah, saya jadi tidak bisa menikmati "susu" seperti yang diceritakan orang-orang. 

Selanjutnya adalah Gua Taman, Gua ini terletak lebih ke bawah lagi dibandingkan dengan Gua Susu (dari Danau Segara Anak), juga melalui sebuah persimpangan jalan untuk mencapainya. Pertandanya adalah, sebuah tangga vertikal dari kayu yang akan membantu kita menuruni sebuah tebing kecil dan sebuah sungai kecil berair hangat. Dari situ akan ada jalan menurun, kira-kira 100 meter menempuh jalan menurun itu kita dapat menjumpai Gua Taman. 

Kesan pertama dari Gua ini adalah penampakan sekelilingnya yang agak "spooky", banyak kain putih digantungkan di sekitar mulut Gua, dan dari info yang didapat, hal ini dikarenakan Gua Taman tersebut memang sering digunakan untuk tempat peribadatan suatu golongan orang.

Suasana di luar Gua Taman

Kain-kain putih bergantungan di sekitar Gua Taman


Gua Taman dapat dimasuki melalui sebuah mulut gua yang sangat kecil, sehingga hanya bisa dilewati dengan cara merayap. 

Mulut Gua Taman

Merayap untuk keluar - masuk Gua

Bagian dalam Gua Taman adalah sebuah ruangan yang cukup besar, dan saya tidak tahu apakah kita bisa masuk lebih dalam lagi. Tidak ada air panas didalam gua ini, ada satu genangan air kecil, namun berair dingin. Bau dupa dan sesaji menyeruak ketika memasuki ruang ini. Terdapat suatu mitos bahwa untuk memasuki gua ini, berapapun ukuran badan orang tersebut, tetap bisa masuk lewat pintu masuk yang menurut saya sangat kecil ini. Saya tidak bisa membuktikannya karena tidak membawa teman yang berbadan "cukup" untuk bisa membuktikannya.


Bagian dalam Gua Taman


Genangan air kecil (dingin) di dalam Gua


2 Buah Gua ini hanyalah salah dua dari beberapa (mungkin juga banyak) nama-nama gua yang saya dengar dari percakapan dengan penduduk lokal, Rinjani memang menyediakan banyak Gua dan Air Terjun untuk bisa dikunjungi. Namun memang tidak kesemuanya memiliki akses yang mudah untuk dikunjungi. Lain waktu lain cerita lain pula tempat untuk diceritakan, selama ada umur, selalu ada sesuatu untuk diceritakan. 

Salam :)

Selasa, 12 Juni 2012

Tentang Rinjani via rute Torean


Nama Torean selama ini memang lekat dengan Gunung Rinjani dimana Torean adalah nama sebuah Dusun kecil yang termasuk dalam wilayah Desa Loloan Kecamatan Bayan Kabupaten Lombok Utara. Sejak lama Torean dikenal sebagai salah satu pintu masuk menuju Taman Nasional Gunung Rinjani (TNGR), namun Torean tidak pernah sepopuler Sembalun dan Senaru yang telah memiliki pamor sebagai pintu masuk resmi TNGR, namun Torean juga tidak berada selevel jalur-jalur Rinjani "minor" lainnya, seperti Jeruk Manis, Benang Stokel, atau jalur resmi terbaru Timbanuh. Torean sejak lama telah digunakan oleh masyarakat lokal sebagai "jalur singkat" untuk tembus langsung menuju Danau Segara Anak, biasanya memang untuk keperluan memancing atau keperluan pengobatan dengan mandi di mata air panas yang terdapat di beberapa titik di jalur ini. Namun, seringnya terjadi longsor membuat jalur ini kurang populer dimata para pendaki, terutama mereka yang datang jauh dari luar lombok. Namun juga, cerita dari mulut ke mulut tentang keindahan pemandangan yang ditawarkan sepanjang perjalanan yang menyusuri lembah kokok putih menuju danau juga membuat kepopuleran jalur Torean tidak lantas tertelan bumi, jadilah jalur Torean menjadi sesuatu yang misterius layaknya tersembunyi di balik kabut tebal. Informasi di internet mengenai pendakian jalur ini pun tidak pernah sampai pada titik yang informatif dan memuaskan, bahkan Lonely Planet pun tidak cukup mengakomodirnya. Kebutaan informasi ini memberi nilai tambah pada rasa penasaran untuk menjelajah jalur satu ini, minimal sekali seumur hidup lah :)

Dusun Torean


Oke, pertama untuk mendaki Rinjani via jalur Torean perlu diketahui bahwa kebiasaan para penduduk lokal yang biasa berangkat memancing adalah berangkat pukul 5 pagi dan sampai danau pukul 12 siang (7 jam), dan mengingat kondisi jalanan menuju Torean rusak parah, maka ada baiknya kita menuju Torean sehari sebelum hari pendakian. Untuk menuju Torean bisa menggunakan jasa ojek dari Loloan, tarif 30-40rb, jika malam tarif mungkin akan naik. Waktu di Torean bisa digunakan untuk mencari porter yang mana adalah penduduk setempat. Mungkin karena jalur Torean ini sangat sepi dilalui oleh pendaki jenis wisatawan (seperti sembalun - senaru), maka harga jasa porter di Torean ini lebih mahal dari para rekan sebayanya di tempat lain, kisarannya 100-150rb per hari/orang, belum lagi jika ada porter yang menerapkan harga borongan per antar (sampai danau). Semuanya bergantung pada hasil negosiasi kita, dan untuk tempat menginap, kita bisa tidur di berugaq milik warga / porter yang ada untuk malam itu. 

Keesokan paginya perjalanan dimulai, lebih pagi lebih baik. Jika perjalanan menggunakan kecepatan pendakian yang normal, seharusnya kita bisa tiba di danau sebelum gelap. Rute perjalanan nanti akan menempuh dengan zona yang terbagi dalam 3 kategori, yaitu :

1. Ladang perkebunan jagung warga 10%, 
2. Hutan 45%,
3. Lembah - tebing terjal 45%. 

Sumber mata air banyak terdapat sepanjang jalan, terutama di hutan. selama perjalanan di hutan ini yang perlu diwaspadai adalah adanya beberapa percabangan jalan dimana untuk para pendaki yang baru pertama kali melewati jalur ini mutlak memerlukan jasa porter sebagai penunjuk jalan. Pacet juga banyak hinggap di kaki para pendaki (termasuk saya) yang kurang terlindungi, memang kurang berarti sih akibatnya karena toh darah yang dihisap juga cuma sedikit, namun jika memang anda ingin benar-benar terhindar sebaiknya anda mempersiapkan alas kaki yang tertutup. 

Tips perjalanan ini, adalah untuk tidak terlalu banyak beristirahat di hutan, karena medan lembah dan tebing jauh lebih berat dan naik turun. Rute Torean memang tidak memiliki pelawangan yang merupakan titik tertinggi sebelum kemudian turun ke danau. Namun jalurnya naik turun sehingga membuat para pendaki yang baru melaluinya akan dihinggapi rasa lelah berlebihan. Maka hematlah waktu untuk digunakan beristirahat di medan lembah dan tebing yang terjal ini.

Tepat sebelum pos 1 dulu pernah berdiri (sekarang hanya berupa tanah agak lapang dan tak ada lagi bangunan apapun berdiri), ada mata air berupa air terjun / mancur kecil yang bisa kita gunakan untuk tempat mengisi perbekalan air,




perjalanan masih dilanjutkan dengan menempuh medan hutan dengan segala naik turunnya :)  dan menjelang keluar zona hutan, kita akan melihat keindahan air terjun Penimbung. Air terjun ini berketinggian vertikal kira-kira 100 meteran lebih.


Sayangnya saya tidak tahu bagaimana cara untuk turun kesana, namun sepertinya kalaupun ada jalurnya akan memutar jauh. 

Selepas air terjun penimbung, kita akan memasuki zona lembah, dan disinilah keindahan jalur Torean yang selama ini banyak tersiar menjadi terbukti. Namun dibalik keindahannya, rute yang ditempuh juga menjadi sangat berat dibanding zona sebelumnya. 


Setelah dibuat frustasi oleh naik turunnya relief bukit kita akan turun dan menyeberangi sebuah sungai dengan air yang dapat diminum (bukan Kokok Putih), sungai kecil nan deras dengan susunan batu yang bisa dikatakan acak-acakan ini biasa digunakan untuk mengisi bekal air atau beristirahat serta sholat bagi para pendaki. Setelah melewati sungai ini kita akan bertemu dan menyebrangi sungai Kokok Putih. 

kokok putih
Air yang mengalir di Sungai ini adalah air danau segara anak, bisa diminum, namun tidak banyak para pendaki yang meminumnya dengan alasan rasa yang kurang oke. Lepas dari kokok putih kita akan terlepas dari rute bukit yang naik turun namun rute perjalanan akan sangat menanjak dengan kecuraman 45-60 derajat, di beberapa titik bahkan lebih curam lagi. Sesampainya di puncak punggungan berarti kita telah melewati bekas longsoran besar sehingga kita harus menyisiri sisi sebaliknya dengan jurang dibawahnya juga. Mengerikan, namun masih bisa dilalui.

Kita akan menempuh jalur menurun tangga vertikal, dan menyebrangi sebuah sungai belerang kecil (berair agak hangat), disini adalah persimpangan menuju Gua Taman. Gua ini bisa dimasuki dan penampakan luarnya cukup menyeramkan dengan banyaknya gantungan kain-kain putih di sekitar pintu masuknya. Gua ini memang biasa digunakan sebagai tempat peribadatan oleh umat Hindu yang berziarah disini. Pintu masuk gua sangat kecil, sehingga kita harus merayap untuk memasukinya. 

gua taman
Perjalanan akan terus menanjak dan kita akan tiba di persimpangan Gua Susu, hal ini ditandai dengan adanya sebuah pemandian / genangan air belerang panas dengan gelembung udara yang muncul dari dalam tanah. Namun walaupun bergelembung layaknya air mendidih, air ini tetap bisa dipakai untuk berendam, dan banyak pendaki lokal menggunakannya untuk alasan kesehatan. Goa Susu terletak sekitar 200 meter dari tempat ini. Perjalanan selanjutnya adalah tetap kembali "ngetrack" jalur mendaki sampai menuju danau. Jarak dari persimpangan goa Susu menuju Danau Segara Anak sekitar 1 km lagi. 

Lepas dari bukit menanjak, yang sepertinya tak ada akhirnya, kita akan tiba di Danau, namun hati-hati menginjak "ranjau darat" akibat ulah para pendaki yang kurang bertanggung jawab BAB sembarangan.

Selepas sungai tempat kita bisa minum, perjalanan akan keKita juga akan melihat banyak air terjun dan suara air di kejauhan