Kamis, 21 Juni 2012

Gagal mencapai Gunung Baru Jari Taman Nasional Gunung Rinjani

Melintasi pinggir Danau Segara Anak Taman Nasional Gunung Rinjani dari basecamp pemancingan jalur Sembalun-Senaru-Torean menuju basecamp jalur Timbanuh bukanlah sesuatu yang mudah. Hal itu sudah saya buktikan sendiri pada hari Senin 3 Juni 2012. 



Dulu (beberapa tahun yang lalu) hal ini masih memungkinkan karena memang para pendaki banyak yang selain mendaki puncak Rinjani, setibanya di Danau Segara Anak (DSA) mereka tidak melewatkan kesempatan untuk mendaki puncak Gunung Baru Jari (GBJ) juga. Untuk menuju GBJ ini maka kita bisa menyisir pinggir DSA dan melewati medan tebing sampai akhirnya tiba di camp pemancingan jalur Timbanuh.

Basecamp Danau Segara Anak via Jalur Timbanuh

Namun beberapa tahun yang lalu (lebih baru daripada Dulu yang diatas) saya mendengar bahwa jalur tersebut sudah tidak bisa (sangat sulit) dilalui akibat longsor pada tebing yang sering terjadi. 

Longsoran Besar Pertama

Longsoran Besar Kedua
Pagi itu pukul 6.30, saya mencoba sendirian untuk menyusuri jalur tersebut. Prinsip saya mudah saja, selama jalurnya jelas dan tidak berbahaya saya akan tetap berjalan untuk mengetahui sejauh mana jalur itu bisa ditempuh, dengan harapan bahwa rumor jalur tersebut sudah tidak bisa dipakai akibat longsor tidak terbukti dalam artian jalur sudah diperbaiki namun informasi mengenai hal itu belum tersebar luas, satu hal lagi yang saya jadikan patokan adalah (agak miris sih) sampah plastik yang bisa ditemui, selama masih terlihat sampah plastik, apalagi terlihat masih baru, berarti jalur tersebut masih "manusiawi". Dengan tas daypack berisikan botol minum tentara berisikan penuh air putih, kamera, buku catatan, saya memulai perjalanan. 

Longsoran Besar Kedua

Longsoran Besar Kedua

Oh iya, arah perjalanan adalah menyusuri pinggir DSA ke arah timur, awal perjalanan jalur terlihat jelas dengan adanya sampah plastik ataupun sisa makanan yang terserak di pinggir danau. Adanya sisa perapian menandakan beberapa tempat menjadi favorit para pemancing untuk bermalam. Namun semakin jauh, sampah semakin jarang ditemui, dan beberapa kali jalur menjadi menanjak dan menjauhi tepi danau, walaupun pada akhirnya akan kembali mendekati danau. Semakin jauh melangkah jalan setapak mulai tertutupi lebatnya ilalang di kanan kirinya, hal ini menandakan bahwa jalur tersebut telah jarang dilalui orang dan  1 atau 2 kali saya terpaksa menyeburkan kaki ke danau dan melintasi sisi dangkalnya karena saya tidak menemukan jalur di darat, entah karena jalurnya harus lewat air atau jalur daratnya sudah sedemikian lebat tertutupi ilalang sehingga saya tidak dapat melihatnya. 

Longsoran Besar ke-3
Beberapa kali saya melewati longsoran, baik besar maupun kecil, hal tersebut tentu memerlukan keawasan lebih dalam melangkah, karena potensi longsor batu senantiasa menghantui. Saya mencatat melewati 4 buah longsoran besar dan longsoran-longsoran kecil yang tak kuhitung jumlahnya. Langkahku terhenti di longsoran ke-4, sebuah bekas longsoran yang meninggalkan bentuk lorong berbentuk V dengan batu-batu yang masih dengan mudahnya longsor saat diinjak. Disini saya memutar otak untuk bisa melalui longsoran ini. Pertama dengan mencoba untuk semi-rock climbing, seperti yang telah saya lalui pada longsoran kedua, namun disini batu-batunya tidak dapat dijadikan pegangan karena masih mudahnya tercerabut, demikian juga dengan akar-akar rumput sangat mudah tercabut. Saya berkesimpulan bahwa tanah disini masihlah labil dengan kata lain, ini adalah sebuah longsoran baru. 

Longsoran Besar ke-4

Longsoran Besar Ke-4 (perbesaran)

Sialnya saya menyadari hal ini ditengah-tengah climbing, sehingga menyulitkan diri untuk turun kembali sedangkan pengangan tangan sedikit demi sedikit semakin terlepas dari tanah, hal ini sempat membuat saya panik, karena tanpa pegangan tangan yang kokoh saya bisa terjatuh dan terjerembab sampai ke danau. Sungguh pengalaman mengerikan, dalam kondisi seperti ini ketenangan bisa menjadi penyelamat nyawa kita. Sambil berpacu dengan waktu seiring pegangan tangan yang semakin melemah, saya berusaha secepat mungkin mencari pegangan baru, beruntung saya menemukan rumput yang bisa dijadikan pegangan sementara walaupun juga terlihat tercerabut dari tanah, namun saya bisa membeli waktu sedikit demi sedikit untuk mencari jalan turun kembali. 


Alhamdulillah saya bisa kembali ke dasar tanah stabil dengan tidak terperosok sedikitpun, selanjutnya masih kurang puas sama mencoba untuk menyusuri jalur longsoran dan ini merupakan ide buruk, karena batu-batunya sangat rapuh kedudukannya, sehingga sebelum melangkah terlalu jauh saya meyurutkan niat bodoh saya ini. Turun kembali melalui jalur longsor ini pun bukan sesuatu yang tanpa rasa takut, tapi untunglah kembali saya kembali di titik stabil dengan selamat. Namun, mengingat bahwa camp timbanuh sudah sedemikian dekatnya, saya bisa mendengarkan para pemancing disana sedang bercakap-cakap, dan saya amati bahwa ini adalah longsoran terakhir sebelum melewati rimbun lebat pepohonan sebelum tiba disana, terpacu oleh hal itu, saya kembali mencoba cara pertama tadi. Kali ini kembali saya menemui kegagalan dengan kengerian yang sama. 


Sejenak saya berpikir, bahwa kalau kondisi tanahnya selabil dan seterjal ini, tidak mungkinlah menjadi suatu jalur bagi para pendaki. Pasti ada jalan lain, atau memang ini adalah jalan buntu. Saya berjalan ke barat menuju suatu tempat yang agak menjorok ke danau, sepertinya di tempat ini pernah ada pemancing (yang mau berjalan sejauh ini) "nongkrong" untuk memancing karena ada sampah disini walaupun sedikit. Dari tempat ini saya beristirahat, tepat didepan lubang kawah Gunung Baru Jari, dan dapat melihat dengan lebih jelas bekas longsoran besar tersebut, dan memang dari titik saya duduk tersebut saya bisa dengan jelas mendengar orang-orang pemancing di camp Timbanuh bercakap-cakap dalam bahasa sasak, sayup-sayup namun cukup jelas terdengar, karena jika ditarik garis lurus, jarak saya dan mereka tidak lebih dari 100 meter. Gemas juga memikirkannya, sementara pilihan untuk melintasi daerah dangkal danau seperti yang telah saya lakukan sebelumnya juga tidak memungkinkan karena ada daerah tebing terjal dimana bagian pinggir danaunya tidak terlihat dangkal, dan untuk merayap di tebing seorang diri juga bukanlah pilihan yang bijak. Terlintas pikiran untuk berenang saja menuju camp tersebut seandainya saya membawa tas kedap air, atau ada kawan yang menemani saya menjaga tas bawaan. Namun keinginan saya tak sejalan dengan realitas yang saya temui saat itu.

Jarak dari tempat terakhir ke Basecamp jalur Timbanuh

Akhirnya saya menghabiskan waktu sejenak di tempat itu untuk menulis diary sejenak, sungguh suasana yang menenangkan, ikanpun banyak terlihat di tepi danau tempat saya duduk ini. Di tengah menulis, saya mendengar dentuman seperti bom. Ternyata Gunung baru Jari sedang meletup, 2x terdengar dentuman diikuti dengan munculnya asap dari lubang kawah. 


Tebing terjal yang menghalangi untuk melangkah lebih jauh

Kawah Gunung Baru Jari
Puas menikmati kesunyian, waktu telah menunjukkan pukul 10, waktunya untuk kembali ke basecamp. Namun disini masalah yang lebih besar menanti. Saya kehilangan jejak jalur awal, terutama setelah melewati longsoran besar ke-3, jalur yang seharusnya ada disisi bawah, namun saya menempuh jalur atas karena saya pikir disinilah tadi jalur yang agak menanjak, ternyata jalurnya terdiri dari tanah-tanah yang labil penuh dengan jelateng. Aduh, saya sempat terperosok jatuh lumayan dalam disini, 4-5 detik saya terperosok, cukup tinggi juga, untungnya saya hanya menderita lecet di tangan dan kaki. Saya kembali berpikir, setiap nyasar saya harus kembali ke titik awal titik paling yakin, dan memikirkan ulang jalur selanjutnya. 

Di tengah nyeri tangan dan kaki yang tertusuk duri, saya mencoba turun ke sisi bawah, dan benar saja disana ada jalur saya tadi, namun seperti jalur lainnya, tertutup oleh semak belukar. Dari situ, saya terus berhati-hati dan mengingat dengan keras jalur-jalur yang saya lewati di awal perjalanan tadi. Sampai pada akhirnya saya menemui pemancing pertama di tempat yang tadi pagi belum ada orangnya. Seluruh perasaan lega pun datang melihat satu demi satu pemancing tersebut yang dengan fokusnya sedang asik memancing. Seorang dari mereka pun bertanya dari mana saya, saya pun menjawab habis nyasar sambil tersenyum malu.

Gunung Baru Jari dari Posisi terakhir
Pelajaran yang bisa diambil dari kisah saya adalah, jangan pernah pergi ke suatu tempat baru yang belum jelas bentuknya sendirian, dan yang kedua selalu beri tanda pada jalur yang pernah dilewati (ini dia yang saya lupa), ketiga selalu pakai akal sehat dan tidak memaksakan diri. Untuk saya pribadi, hal ini adalah sebuah pelajaran langsung yang saya terima dari Ibunda Rinjani tercinta. :)






Tidak ada komentar:

Posting Komentar