Sabtu, 28 Juli 2012

Sore ze Band di telinga saya


Sore memang bagus, tapi IMHO tidak sebagus itu untuk dipuja-puja. Kalimat tadi adalah murni pendapat saya sebagai pendengar musik, pastilah banyak yang akan tidak sependapat dengannya, apalagi mereka yang telah menjadi penggemar militan yang sampai kapanpun tidak akan dapat memberikan pendapat yang obyektif lagi. Tapi ya sudahlah, tidak apa-apa. Tentu pernyataan saya memiliki dasar, dan dasar yang obyektif yang sekali lagi obyektif menurut saya. Sore memiliki aliran yang unik, perpaduan berbagai bunyi yang enak terdengar, jauh melebihi esensi tiap lagunya itu sendiri. Beberapa dari lagu mereka mati-matian saya kulik (gitar) untuk bisa ikut menyanyikannya, karena memang enak, seperti : senyum dari selatan (walaupun bukan ciptaan Sore), Vrijeman (benarkan jika typo) , dan lagu yang sangat memorable untuk saya yaitu mata berdebu. Hal umum dari sore (secara musikalitas) yang membuat mereka tidak mendapat A+ dari saya yang dummy ini adalah terlalu banyaknya bebunyian yang mayoritas mengisi musik-musik sore. Awalnya memang terdengar "wah" ketika kita mendengarkan sebuah lagu yang mana didalamnya terkandung beraneka ragam bebunyian, apalagi dikemas dengan warna dasar agak jazzy, namun makin kesini ketika saya sudah bisa menyanyikan lagu-lagunya diluar kepala, dan ketika mendengarkannya lewat earphone dimana bunyi-bunyi menjadi lebih detail, mayoritas musik-musik Sore menjadi berlebihan. Bertaburannya bunyi-bunyi terasa malah bertubrukan dan terasa tidak perlu di banyak tempat, berlebihan, dan tak jarang bertubrukan. Sekali lagi ini pendapat saya yang lebih menghendaki musik-musik yang tenang menyejukkan seperti milik mbak Enya, atau yang bising sekalian ala Besok Bubar. Namun, untuk sebuah musik berjenis seperti Sore ketika basic nya saja sudah enak penambahan ornamen-ornamen terlalu banyak akan serasa seperti sebuah Ice Cream haagen dazs yang sudah lezat diberikan taburan mesis, kurma, anggur, pepaya, bahkan duren. Bukan itu yang saya mau bang Ade (paloh).

Tiga lagu dari beberapa yang "berlebihan" itu adalah sebagai berikut :

1. Vrijeman
Oke, memang ini adalah salah satu lagu fenomenal, satu dari sedikit lagu-lagu Sore yang memakai format full distortion, namun jika didengar lagi, distorsi tidaklah cukup untuk memberikan kesan bising di lagu ini. Banyak sekali bebunyian gedebam-gedebum di background soundnya, bahkan saya sampai merasa mendengar sebuah petasan (atau mungkin memang demikian?), serta bunyi drum dan cymbal yang bertubi-tubi membuat saya bertanya-tanya kesan apa yang ingin ditimbulkan oleh Sore. Besar kemungkinan memang musikalitas saya yang masih kurang tinggi untuk bisa mengerti "wahyu" yang diberikan ini. Vrijeman membuat saya memberikan julukan kepada musikalitas Sore (secara banal) sebagai BarongSai Rock. Dengan rincian ingredient Jreng gitar distorsi plus gebukan drum bertubi-tubi "cass cess" pukulan cymbal plus duer duammm Jeggerrr petasan. Tapi nice ending (mungkin Sore mengerti setelah diberi latihan inti yang ngos-ngosan perlu adanya pendinginan).

2. Senyum dari Selatan
Duh, dimana lagi saya bisa mendengar musik seindah ini. Sebuah nada "klasik" nan sendu yang dengan cepat mendapat tempat di kuping dan hati saya dari kali pertama mendengarnya, namun lagi-lagi ada yang mengganggu keagungan dari kesederhanaan yang seharusnya menjadi kekuatan di lagu ini. Bunyi perkusi yang hadir dalam bentuk marakas agak memberi kesan ribet di lagu ini yang sebetulnya telah muncul dari bebunyian backing vocal yang memang sudah hampir pasti muncul di tiap lagu Sore. Belum lagi suara hi-head cymbal yang menurut saya terlalu "maju ke depan" malah abis itu ada gitar terededet-dedet ditengah-tengahnya lagi yang menarik diri saya dari alam nostalgia klasik untuk sejenak ke zaman robotic. Tapi toh pada akhirnya kejeniusan mereka terbukti dari bagian suara "haaa aaa" wanita / pria setengah wanita itu. Sangat megah layaknya angin sore yang membawa saya terbang melayang menjadi saksi sebuah hari akan diakhiri di sebuah kota yang sibuk dengan hiruk pikuknya (sebut saja kawasan Salemba Jakarta). Lagi-lagi sebuah ending yang brilian diberikan di penutup lagu setelah sebelumnya kuping "diitik-itik" dengan bebunyian-bebunyian yang setiap saya mendengarkan lagi, pasti tersadarkan oleh adanya bunyi baru yang sebelumnya belum saya sadari.

3. Ambang
Fill keyboard ditengah lagu ini lagi-lagi jenius, dan gw yakin hal itu muncul cuma dari kreasinya bung Mondo (ya maaf kalo salah), tapi lagi-lagi "cymbal maut" terlalu bermain barong sai di beberapa bagian lagu, mungkin karena jenis yang dipakai memang cuma crash ya? di satu bagian lagu saya seperti mendengar piring pecah. Dua kali fill keyboard session di lagu ini betul-betul menyejukkan kuping yang mendengarkannya. Mendengar bahwa Mondo sang keyboardist telah resmi keluar meninggalkan Sore, saya agak khawatir plus penasaran, seperti apa jadinya nanti musikalitas Sore selanjutnya.

Beberapa contoh lagu Sore diatas mungkin cuma kekhilafan saya memahami sebuah lagu, dan kalau mau dijabarkan lagi, masih ada beberapa lagu-lagu Sore lain yang "berdosa" di telinga saya. Namun dibalik itu semua ternyata ada juga sebuah lagu sempurna berjudul "silly little thing" feat-Atilia Haron yang terdengar tanpa cela di telinga (saya), atau mungkin masih perlu waktu untuk telinga saya untuk mengungkap bebunyian "ghaib" di lagu tersebut, God Knows.

Demikianlah pendapat saya pribadi sebagai penikmat musik grup band Sore yang baru-baru kemarin muncul di acara Radioshow yang saya lihat ternyata banyak dihadiri penggemarnya yang terlihat manggut-manggut sepanjang lagu apapun yang disuguhkan, mungkinkah mereka juga merasakan hal yang saya rasakan? atau hanya menelannya bulat-bulat seperti sebuah wahyu Tuhan yang pantang kau pertanyakan ulang. Mungkin jika ini adalah sebuah agama, saya bukan penganutnya yang taat. Itu saja. :)



Jumat, 20 Juli 2012

Apa itu Romantisme?

Apa itu romantisme? Suatu sore gw berkendara menuju suatu tempat di bilangan Cakranegara-Mataram, gw menuju suatu toko Buku tua nan sederhana, bernama Toko Buku Jaya. Jangan bayangkan sebuah tempat terang nan luas seperti yang dimiliki oleh Toko Buku semacam Gramedia, Gunung Agung, Aksara, atau bahkan Karisma. Toko Buku Jaya hanya bertempat disebuah bangunan petak tua, dengan luas hanya sekitar 6x3 meter. Begitu kita memasukinya, di tiap sisi dindingnya terpampang rak-rak tempat menaruh buku, majalah, dan koran. Untuk buku, dengan dimensi ruang yang terbatas seperti itu, tidak akan kita temui buku-buku terpopuler baru seperti yang jamak muncul di toko buku lain. Namun, buku yang tersedia memiliki keunikan tersendiri. Buku-buku holistik, yoga, tentang berternak ikan, kiat menembus ujian CPNS, bermain alat musik untuk pemula, sampai buku-buku rohani diletakkan di rak sebelah barat dan selatan. Sedangkan untuk majalah dan koran di rak utara dan timur, Toko Buku Jaya memiliki koleksi yang lumayan up-to-date (karena alasan gw yang mencari majalah rollingstone yang membawa gw selalu kembali ke toko buku ini). Untuk Koran, toko ini menyediakan kompas dan Jawa Pos sebagai surat kabar nasional, dan beberapa surat kabar lokal. Aneka majalah tersedia disini dari majalah wanita sampai audiopro dan audiolifestyle. Dibalik semua hal teknis tadi, toko ini terasa hangat ketika kita datang ke kasir yang dijaga oleh seorang bapak berusia lanjut dengan perawakan sejuk karena senyum yang selalu mengembang saat melayani pembeli. Berbelanja di toko ini adalah apa yang gw sebut dengan romantisme, apalagi ketika tahu bahwa masih ada penjual yang membersihkan majalah / buku yang kita beli dengan kemoceng hanya untuk memastikan semua yang terbaik bagi pembeli. Hehe itulah salah satu contoh kecil romantisme buat gw.