Jikalau sudah waktunya saya untuk kembali ke Bintaro di ujung barat jakarta dari ujung timur jakarta, maka pastilah itu pada sebuah pagi hari yang buta.
Hal itu karena saya berpindah dari suatu daerah sub urban menuju daerah sub urban lainnya di sisi yang berseberangan.Maka sepanjang perjalanan sebuah pemandangan unik saya dapatkan, bukan suatu hal yang baru tentunya, namun tak pernah berhenti membuat saya kagum sekaligus prihatin di sisi lainnya.
Sebelumnya saya selalu menganggap perjalanan ini terbagi dalam 2 bagian dengan Jalan Sudirman sebagai garis pemisahnya. Pada bagian pertama, perjalanan saya akan ditemani oleh para sejawat pengguna jalan yang ingin menjadi early birds catch the road, sama seperti saya yang sangat enggan jika ada sedikit saja waktu dalam hidup ini yang terbuang sia-sia hanya karena terjebak kemacetan. Jalan yang saya tempuh adalah ruas jalan kolonel sugiono, jalan casablanca, dan masuk jalan prof.Dr.Satrio sebelum tiba di Jl.Jend.Sudirman. Jika saya bisa memulai perjalanan dibawah pukul 5 pagi, maka jalanan yang relatif lowong untuk ukuran jakarta menjadi hadiahnya, yang akan membuat hati legowo dalam perjalanan paruh pertama, namun jika setelahnya maka jalanan akan mulai padat merayap karenanya walaupun belum dapat dikatakan macet.
Hal yang saya tangkap sebelum memotong jalur jend. sudirman adalah hiruk pikuk penduduk kota jakarta yang telah meningkat jauh baik dari segi volume maupun dari segi tensi persaingan memperebutkan meter demi meter ruas jalan yang ada, jika dibandingkan dengan waktu sebelum saya pernah meninggalkan kota ini untuk beberapa waktu. Ditambah lagi dengan adanya pembangunan flyover di jalan casablanca yang membuat jika kita memulai perjalanan pada pukul 6 pagi keatas, maka dipastikan akan terjebak kemacetan yang tidak mengenakkan rasanya pada ruas jalan tersebut, Untuk persaingan seperti yang saya dapatkan pada pukul 5 pagi ini, saya sudah menganggapnya sebagai tensi rendah karena apa yang saya lihat di paruh kedua perjalanan adalah sebuah fenomena bagaimana manusia termobilisasi oleh sebuah atau lebih alasan (walaupun mayoritas sepertinya sama) menuju satu arah tujuan pada tiap pagi dan sore harinya.
Selanjutnya adalah paruh kedua perjalanan, selepas melewati jl. jend. Sudirman dengan sebuah jalan layang, saya berbelok di kuburan karet bivak untuk kemudian masuk palmerah dan berlanjut ke Jalan Veteran. Pada sesi ini saya bukanlah menjadi bagian dari gelombang manusia yang berjalan satu arah tersebut, namun menjadi penonton karena saya melaju berlawanan arah dengan para pekerja yang berasal dari daerah barat jakarta menuju pusat jakarta, alhasil pemandangan yang saya lihat pun adalah sebuah ular panjang barisan kendaraan bermotor yang tak berhenti bahkan saat saya sampai di bintaro. Sebuah pemandangan yang selalu membuat saya mengurut dada dan bersyukur bahwa sampai saat ini saya bukanlah bagian dari antrian kendaraan bermotor yang mengular seperti itu. wajarlah jika penduduk jakarta yang modern ini sebetulnya hanya menginginkan satu permintaan sederhana kepada sang gubernur terpilih, yaitu atasi kemacetan, selain banjir.
Untuk saya pribadi, saya pun yang dalam 2 tahun terakhir ini hampir tiap minggu menyaksikan pemandangan seperti ini hanya menginginkan sebuah kualitas hidup yang tidak harus menjadi ular panjang berpolusi timbal yang rutin tiap pagi terjadi di hampir tiap sudut kota jakarta. Pertanyaan yang sering muncul di benak saya adalah, tidakkah keinginan saya juga pernah tersirat di benak para manusia-manusia lain di jakarta? mengapa mereka masih menginginkan untuk tinggal di kota yang menawarkan kualitas hidup yang buruk ini. Atau mungkin ketiadaan pilihan yang membuat mereka harus menjalani hidup layaknya mengikuti arus sungai yang tak pernah kering walau musim berganti.
Saat saya menyelesaikan tulisan ini, saya pun menyadari bahwa saat ini pun sang ular sudah mulai menggeliat dan memanjang siap untuk menerkam jakarta.
tes komen
BalasHapus