Pada hari libur tahun baru Islam, waktu itu terbesit rencana untuk bisa mengelilingi lombok untuk memenuhi suatu perasaan sendu diri yang akan berpisah dengan pulau yang telah menjadi rumah keduaku selama 5 tahun kebelakang ini. Namun aku juga ingin suatu titik baru atau setidaknya suatu titik di pulau ini yang sangat jarang kusinggahi / kulewati. Akhirnya, walaupun dengan keuangan yang sedang tidak stabil di bulan ini, aku memutuskan untuk pergi ke Desa Torean (sejauh sebelum aku menginjakkan kaki di desa tersebut, hal yang aku tahu tentang torean hanyalah sebuah pintu masuk "minor" menuju Danau Segara Anak-Taman Nasional Gunung Rinjani). Dengan berkendara mobil sewaan, dengan tangki bensin terisi bensin bernominal Rp.100.000, kubergegas pergi lewat arah bayan, setelah sebelumnya sempat berhenti di pusuk untuk "sowan" ke "uwak", dan berhenti di Tanjung untuk menanyakan lokasi Torean. Perjalanan berlangsung menyenangkan, tak ada hambatan yang menghalangi ku sampai di depan Kantor Desa Loloan.
Perlu kuceritakan sedikit, bahwa dari hasil berhenti-berhenti dibanyak tempat untuk menanyakan informasi tentang tempat yang sedang kutuju, ternyata yang kuketahui adalah bahwa untuk bisa menuju Torean, kita harus berhenti di depan kantor desa Loloan, yang ternyata Torean itu sendiri bukanlah suatu Desa namun hanyalah kampung kecil (suatu informasi baru buatku), dimana untuk mencapai Kampung Torean ini, tidaklah bisa dilalui dengan mobil avanza sewaanku ini (atau mobil-mobil kota sejenisnya) karena alasan rusaknya kondisi jalan, melainkan jika tidak dengan truk (biasa untuk mengangkut hasil panen, dan akan tambah merusak jalan IMHO) atau dengan motor. Akhirnya kuputuskan pada pilihan kedua untuk menuju Torean, namun ongkos sewanya tidaklah murah (untuk ukuran ojek) Rp.30.000 pp (setelah terjadi tawar-menawar, tadinya Rp.40.000. Sang Mamang ojek bersikukuh bahwa harga tersebut sudah pantas untuk medan perjalanan yang akan dihadapi). Awalnya aku tidak percaya dengan harga yang ditetapkan, namun mengingat posisi sudah terlanjur basah (sudah kepalang tanggung) dan langit juga menunjukkan tanda-tanda akan turun hujan, maka aku setujui harga yang ditetapkan. Jadilah saya dan si Mamang berdua menuju torean dengan motor yang sepertinya sudah sangat sering dipaksa bekerja keras menghadapi dunia ^_^.
Dan Ternyata apa yang diucapkan sang Mamang benar, medannya sangat berat, dan amat tidak mungkin untuk mobil pribadi bisa melaluinya, dan jika tidak berpapasan dengan truk di tengah jalan, mungkin aku juga tidak percaya bahwa truk bisa melalui jalan ini. Angka 8 km yang sempat terlontar dari mulut penduduk lokal saat kutanya tentang jarak antara Kantor Desa Loloan (tempat aku memarkir mobil) sampai Kampung Torean ternyata benar-benar terbukti, dan itu semua harus dilalui dengan perkiraan hanya 5% saja jalan yang terasa layak untuk dilalui oleh kendaraan bermotor. Namun motor harus tetap terus melaju, mengingat jikalau turun hujan sebelum sampai Torean maka perjalanan akan jauh lebih sulit.
Sebagai gambaran, medan yang harus dilalui menuju Torean adalah jalan bertanah, hanya sedikit yang beraspal (katanya diprioritaskan untuk yang diaspal adalah jalan tanjakan) namun kenyataannya aspal yang kutemui adalah aspal-aspal yang telah hancur, yang malah membuat perjalanan tanjakan menjadi lebih sulit. Lubang-lubang di jalanan tanah yang teramat dalam, truk yang sedang turun kebawah saat berapapasan denganku mengalami kesulitan melewati jalanan sempit yang di sisi kirinya terdapat lubang besar dan panjang, terlihat, sang kernet sedang mencoba mengakalinya dengan menutupinya dengan kayu-kayu atau apapun itu untuk mencegah truknya merosot dan terjerembab. Belum lagi tak jarang ditemui tanjakan dengan sudut elevasi yang terlalu curam dengan medan jalan yang sangat buruk, sehingga mengharuskanku untuk turun sejenak dari motor dan berjalan.
Tepat sebelum sampai Torean, hujanpun turun, aku benar-benar bersyukur karena tidak harus mengalaminya saat sedang ditengah-tengah beratnya perjalanan tadi. Sempat tersampaikan informasi dari sang Mamang, bahwa Pemerintah Daerah pemekaran yang baru terbentuk ini berencana mengaspal jalan Torean-Loloan untuk bisa lebih mudah dilalui bagi para turis asing. Kesan pertama yang kudapat tentang Torean adalah sepi, dan sangat sepi, rumah-rumah sedikit jumlahnya di kampung ini, terdapat masjid yang ukurannya cukup besar dan saat itu terlihat baru mengalami renovasi.
Aku diajak mampir ke rumah salah seorang teman si Mamang, karena memang aku tadi berpesan kepadanya untuk minta dipertemukan dengan seseorang tempat aku bisa menanyakan tentang berbagai hal yang berhubungan dengan jalur Torean-Segara Anak. Setelah berteduh di suatu rumah, Dirikupun diperkenalkan oleh seseorang yang bernama Usman, (aku juga berkenalan dengan sang Mamang, namun lupa namanya). Usman, adalah warga setempat yang sering bekerja sebagai guide atau penunjuk jalan jika ada turis / tamu yang datang dan ingin mendaki Gunung Rinjani.
Usman menceritakan banyak hal tentang jalur Torean yang minor ini, suatu hal yang benar-benar tidak kuketahui dan sangat menarik untuk disimak, ditengah hujan yang semakin deras, Usman mengajakku dan si Mamang untuk pindah ke rumahnya sehingga yang menurutnya lebih nyaman untuk bisa melanjutkan obrolan. karena menurutnya rumah tempat sekarang kami berbicara adalah rumah mertuanya dan sedang tidak ada orang lain disitu.
Di rumah Usman, kami melanjutkan pembicaraan pembicaraan di brugak tradisional milik keluarganya, ditengah guyuran hujan yang semakin deras, saya merasakan sebuah kehangatan dan keramahan sebuah keluarga sederhana van Torean. Karena seluruh keluarganya pun ikut bergabung dalam pembicaraan tentang jalur gunung dengan perspektifnya masing-masing, baik dari bapak yang sudah lanjut (namun dulu pernah sering naik gunung Rinjani) sampai seorang ibu yang juga mengatakan pernah berkunjung ke Danau Segara Anak. Seluruh cerita tentang pengalaman mereka kurangkum sebagai suatu pengetahuan baru tentang jalur yang masih misterius untukku ini. Dengan Suguhan kopi hitam khas lombok dan lintingan tembakau yang mereka hisap menambah suasana yang sangat orisinil saat itu.
Cukup lama aku berada ditengah-tengah mereka, dan merekapun bisa menerimaku dengan tulus, sampai tak terasa hujanpun berhenti setelah mungkin 1,5 jam turun. Dan berbekal semua informasi yang telah kudapatkan dari orang-orang super ramah, yang mungkin informasi tersebut akan kuperlukan jika suatu hari nanti akan mendaki rinjani via Torean. Akupun berpamitan untuk pulang saat waktu menunjukkan pukul 16.30 WITA
ah, keren lu tong...
BalasHapusMasih bakal sering ke lombok kan?