Barusan gw nonton film ? (baca : tanda tanya) di 21 Bintaro Plaza, sebuah film yang katanya kontroversial itu, dan memang segala kontroversinya memberikan buah manis tersendiri bagi Hanung Bramantyo cs dari segi antusiasme penonton. Dari mana gw tahu hal itu? simple aja, siapa juga yang bisa menjamin bahwa ibu-ibu prototype rumpiers alias yang bermodel tukang rumpi gitu bakal hadir nonton film yang di spanduknya cuma bergambar grafis tanda tanya besar tanpa embel-embel tulisan berarti. Pasti mereka taunya dari cek n ricek, kabar-kabari, atau para lelembut sebangsanya yang memberitakan bahwa film ? itu diprotes banyak pihak dan elemen masyarakat yang merasa tergores oleh jalan cerita film tersebut yang menurut mereka (yang identitasnya dicatut Hanung) bukan menggambarkan mereka yang sebenarnya, lalu yang sebenarnya gimana? di koran ada sih mereka menjabarkan panjang lebar, tapi gw males ngebacanya karena pada akhirnya mereka menginginkan dirinya ditampilkan dalam diri yang seideal yang mereka mau, jadi karena gw males baca korannya, jadi gw ga tau apa maunya mereka dan pada akhirnya gw ga bisa bercerita tentang topik itu disini.
Terlepas dari kehadiran para ibu-ibu yang menurut gw mereka memasang cara menonton ala layar tancep yang bebas berhaha-hihi selepas-lepasnya pada hal-hal yang sebenarnya ga urgent untuk ditertawakan, dan pada akhirnya membuat orang-orang yang bener-bener pingin nonton n pingin tau "apa sih maunya hanung di film tanda tanya ini" jadi terusik. Tapi biarlah, Hanung cs pasti ga peduli sama penderitaan gw n yang dia pikirin sama kehadiran para rumpiers itu yang penting dah pada bayar tiket n kasnya makin menggembung (konon dalam 5 hari penonton film ? mencapai 100.000 orang dan entah berapa prosentase para ibu-ibu bokis yang nonton film ini karena takut dibilang ga happening sama temen-temen PKKnya), tapi ya salah gw juga nonton di jam ibu-ibu beroperasi.
Oke tentang film itu sendiri, overall gw bilang bagus. sebelumnya gw ngomong gini cuma sebagai konsumen akhir dari sebuah produksi film bukan berbicara sebagai pakar.
? dikemas dengan baik, jauh lebih baik daripada film Hanung terakhir yang pernah gw tonton, yaitu "ayat-ayat cinta".
Dari adegan-adegan yang ditampilkan, gw baru tau ternyata Hanung tuh hobi banget ngambil adegan dari tempat-tempat yang sedikit tidak wajar (mungkin untuk alasan artistik), di beberapa titik awal bagus memang, tapi lama-lama pengambilan gambar untuk Menuk masuk rumah aja diambil dari atas plafon yang kebetulan ada sekat-sekat sempitnya (cuma adegan itu aja yang gw inget) dan ada beberapa lagi sih (kalo ga mau disebut banyak) dan sekali lagi kalo sering-sering itu jadi agak mengganggu, mungkin bagus tapi kadang disaat-saat tertentu penonton awam seperti gw juga pingin disuguhkan scene pengambilan gambar yang wajar-wajar saja, dan capek kalo diajak eksplorasi angle terus.
Dan apa yang bikin ? juga bagus dan sangat jauh diatas rata-rata film Indonesia lainnya adalah cerita-cerita non verbal yang disampaikan, bagaimana pengambilan gambarnya menangkap suasana kota tua yang menjadi lokasi cerita film dari awal sampai akhir, hal itu bagus. Entah pakai ilmu apa dia bisa seperti itu.
Tema, nah sekarang kita bicara tema, yang diangkat didalam film juga adalah sesuatu yang bisa dikatakan berani untuk "dijual" di pasar Indonesia yang terkenal sensitif untuk bersenggolanpun (ingat istilah senggol bacok?). dan sialnya bagaimana cerita tersebut dibangun juga bagus, tapi memang sebaiknya sebelum nonton film ini kita baca dulu sinopsisnya karena ceritanya benar-benar tidak dimulai dari awal (dan itu bagus). Namun biarpun tema dan pembangunan ceritanya bagus, kritik juga gw layangkan pada (IMHO) kurang blendingnya adegan per adegan dalam film itu, udah bagus, tapi sangat sayang kalau masih terasa kurang halus. Kalo menurut gw lagi nih, hal itu mungkin karena penghayatan para pemain film yang masih belum maksimal (ga kurang, udah cukup tapi masih bisa dioptimalin kalo bisa dimaksimalin lagi) jadi emosi yang tertangkap adegan per adegan itu berbeda dan pada akhirnya jadi kayak kumpulan cerpen berbeda cerita (tapi itu kalau mau dirasakan dengan perasaan yang super sensitif, kalo ibu-ibu bokis itu ga tau deh ngerasain hal yang sama ato ngga hehe). Dan satu lagi, film ? ini juga ternyata terkena penyakit kronis yang banyak menyerang film-film manapun itu, bahkan hollywood, yaitu ending yang justru antiklimaks.
Antiklimaks gimana? hmm tapi ini menurut pendapat saya lho ya (dan gw yakin sama ini), Bagaimana cerita dibangun dengan indah dan penuh logika masuk akal, di beberapa adegan seperti saya bertanya "masak sih ada orang Muslim mau jadi peran Yesus di sandiwara pra paskah?" tapi ternyata kalo dipikir-pikir, si fulan bin fulan yang berprofesi sebagai pemain film kelas bawah itu dalam keadaan yang sangat terjepit keadaan ekonomi nya sampai-sampai ga punya tempat tinggal dan tidur di masjid setiap harinya, dan dia memang tidak menjual akidahnya kok, jadi dia cuma bener-bener cari nafkah dari situ, kalau dia ga gitu dia ga bisa apa-apa, dan pasti akan ada pertanyaan "emang ga ada pekerjaan lain?" kalau di film itu, digambarkan bahwa dia benar-benar sudah terjepit keadaannya. jadi selalu ada jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang gw ajukan sepanjang film. Namun untuk bagian akhir si pemeran utama, Soleh, yang menjadi Banser dan sedang mengamankan ibadah umat katholik di sebuah gereja menemukan bom yang disimpan dibawah kursi jemaat. Kekurangan adegan (yang seharusnya klimaks) ini,
pertama : Bomnya kok diperlakukan sangat kasar sekali sama si Soleh, cara diangkat, dibawa lari sedemikian rupa, sebagai orang yang sangat awam dengan dunia teknis bom, gw cuma bisa bertanya, apa ga meledak duluan tuh bom?
kedua : Bom itu adalah bom waktu lengkap dengan alat penghitung mundur digitalnya, tapi sumpah gw ga tau kalo pas Soleh nemuin, bom itu dah mau meledak (n makanya dia dengan serampangannya mengambil dan membawa lari bom itu kayak bawa bungkusan kado ulang tahun aja), gw ga tau bom itu mau meledak karena di alat itung mundur digitalnya ga keliatan angka apa-apa, malah kayak mati. kayak kalkulator mati jadinya. ato mungkin dia nyala, tapi kamera ga bisa menangkapnya karena nyalanya kalkulator itu kurang kuat. seharusnya kalo mau dibikin dramatis, pake itung mundurnya pake alat iluminating ala kalkulator-kalkulator jaman dulu itu, jadi terang.
ketiga : terlepas dari masalah bom, oke deh si Soleh akhirnya berkorban demi umat agama lain dan dia menemukan jawaban bahwa itulah Jihad yang sebenarnya (menurut film ini). tapi adegan dia membawa lari bom dengan scene dramatis, dan pada akhirnya meledakkannya bersama dirinya terasa sangat 'merusak' apa yang telah dibangun dengan baik dari awal. terlalu heroik, dan kurang dimanusiawikan. Saya juga heran mengapa Hanung memilih untuk mengakhiri filmnya dengan kisah seperti itu.
Tapi ya sudahlah apapun itu, apa yang telah dipersembahkan oleh Hanung Bramantyo cs dalam filmnya ? itu sudah sangat memuaskan untuk ukuran film Indonesia. gw harap kedepannya akan lebih banyak bermunculan film-film berkualitas sama atau bahkan lebih asal jangan kurang.
gw blom nonton jadi ga bisa komentar banyak, alesan gw blom nonton pertama ini pelem baru keluar dah bikin kotroversial dan ngeliat gelagatnya ni film roman2nya cari sensasi dulu biar orang penasaran nonton, makanya gw ga mau jd orang kebanyakan yg gampang digiring masuk bioskop (maaf Hanung ane kaga bs digiring, & dah cukup ane patah hati krn saskia mau sm ente.. wakakak). penilaian ente sm film ini cukup menskecth di pikiran ane juga... ane cukup penasaran jg sm pluralisme yg katanya terkandung di film ini... "saya tidak setujuh sama Pluralism" (padahal ane blom nonton tuh.. hehehe... mirip KH Marzuki Alie ga)
BalasHapusiya oom.. sebenernya ga da salahnya sih nonton dulu baru kita menilai.. kalo mau objektif, nilai2 yang dimunculkan di film ini bagus (tapi ya bagus dalam nilai toleransi menurut hanung).. jadi kalo ada yg menilai toleransi di film ini kebablasan, ya itu hak pribadi mereka, yang penting tidak anarkis dsb dsb.
BalasHapusyang pasti di film ini terlihat kok hanung berusaha memberikan yang terbaik yang dia bisa karena menurut gw ini film terbaik hanung (so far...)