Berikut adalah tulisan saya yang berisikan unek-unek saya tentang berlebihannya orang Indonesia (ga semuanya sih) memandang penambahan usia, ya harus gini lah, ya harus gitu lah, entah dari mana mereka mendapatkan pakem seperti itu dan tanpa berpikir lebih dalam langsung menganggapnya sebagai suatu kebenaran. Dan kapan pakem itu muncul? entahlah.
Tulisan ini juga tidak akan saya promosikan di facebook atau twitter, karena memang bukan ditujukan untuk banyak orang yang ga mempunyai cukup nasib untuk membacanya, tapi juga ga akan saya simpen buat diri saya sendiri juga di dalam buku diary. Jadi adalah nasib mujur jika anda kebetulan terdampar di blog ini, trus pas baca postingan ini dan menganggapnya sebagai sebuah masukan berharga dalam hidup anda. Boleh juga anda menganggapnya sebagai suatu kesialan, ketika membaca sebuah ide yang sangat tidak sesuai dengan cara pandang anda atau tidak dapat sedikitpun masuk kedalam pakem yang sudah sangat tertanam dalam diri anda, mungkin buang-buang waktu untuk anda untuk membacanya. Jadi semua kembali kepada anda dan nasib anda.
Menjadi tua, menjadi dewasa, menjadi berjiwa muda. Saya mempunyai cara pandang sendiri(tapi tidak berani mengatakan berbeda karena sangat mungkin ada manusia lain di dunia ini yang memiliki cara pandang sama) dalam memandang ketiga poin tersebut. Ketika banyak orang berkata, tua itu pasti dan dewasa itu pilihan. Maka saya akan berkata (dengan lantang) bahwa Tua itu pasti, dan menjadi dewasa adalah HARUS! berjiwa muda adalah pilihan.
Landasan berpikirnya adalah, jika kedewasaan adalah sebuah pilihan maka menjadi tidak dewasa adalah sesuatu yang wajar? menurut saya (pribadi) sih tidak. Kedewasaan adalah sebuah proses yang diperoleh dengan berjalannya waktu, sangat sulit untuk menjadi dewasa tanpa menjadi tua. Walaupun ada orang yang berusia lebih muda mampu bersikap lebih dewasa dibandingkan dengan orang lain yang lebih senior darinya. Namun, kedewasaan memang tidak dapat dipaksakan, namun bisa diusahakan. Melihat orang berusia banyak yang tidak dewasa dalam memandang suatu masalah hanya akan menimbulkan kemuakan bagi yang melihatnya, termasuk saya. Saya sendiri selalu menganggap diri masih berproses menuju kedewasaan, namun saya tidak akan mentolerir jika diri saya tidak pernah menjadi dewasa. Menjadikan kedewasaan sebagai suatu pilihan adalah sesuatu yang salah kaprah karena hal ini berarti kita mentolerir adanya ketidakdewasaan di masyarakat sana. Namun yang namanya keharusan tentu masih ada saja pihak yang tidak melaksanakannya, berbeda dengan menjadi tua yang merupakan suatu keniscayaan, dewasa sebagai suatu keharusan seharusnya memang lebih mengikat dibandingkan hanya dengan menjadi pilihan.
Lalu bagaimana dengan pola masyarakat kita dalam memandang kedewasaan? beberapa orang yang menurut saya salah kaprah lagi-lagi memaksakan pandangannya bahwa menjadi dewasa adalah menjadi kurang beraktifitas fisik, mengurangi ide-ide liar, menjadi lebih pendiam, dan pada akhirnya menasehati "sudahlah, inget umur, udah harus dewasa, ga usah surfing lagi.. "
Sungguh menggelikan mendengarnya. Ketika kedewasaan diartikan juga dengan jiwa yang menua, yang berarti menjadi dewasa dengan berjiwa muda itu sangat bertolak belakang. Menjadi dewasa berarti meninggalkan naik gunung, surfing, freediving dan menggantinya dengan bulutangkis, tenis, dan sebagainya. Saya suka seluruh olahraga, namun menurut saya, tenis masih bisa saya lakukan saat saya berusia 50 tahun ke atas nanti. Kita tidak bisa melawan umur, karenanya 30 tahun bahkan 40 tahun usia yang terlalu muda untuk beralih ke olahraga minim adrenaline. Tentunya pandangan saya tidak harus berlaku kepada semua orang, hanya ditujukan bagi para penganut paham kedewasaan = penuaan jiwa.
Hal ini tentu saja akan berpengaruh ketika (kalau mau) memiliki keturunan kelak, tahu kenapa para anak terkadang lebih dekat kepada teman-teman sebayanya dibanding orang tuanya? Karena orang tua mereka sudah berjiwa tua! frekuensinya jauh berbeda dari anaknya. Dan berani taruhan bahwa mayoritas masyarakat memandangnya sebagai suatu kewajaran. Menurut saya? Nggak! Minoritas hubungan orang tua-anak yang saya lihat asik adalah ketika orang tua nya mampu mendewasa dengan baik tanpa kehilangan jiwa mudanya. Hal ini yang membuat para anaknya betah untuk berada didekat orang tuanya, karena frekuensi pergaulan bapak-ibunya meluas seiring pertambahan usia bukan malah bergeser.
Memang yang gampang adalah membiarkan diri kita untuk menua dan menyerah pada hormon sambil menunggu mati, namun setiap kemudahan akan ada konsekuensinya. Apa yang kita tanam hari ini adalah buah di keesokan hari. Jika suatu hari nanti kita semua merasa sudah bahagia dan merasa congkak akannya, coba lihat kehidupan kita dalam lingkup yang lebih luas maka dijamin akan kita temukan banyak kekurangan yang ada dalam kehidupan kita. Apa yang akan kita keluhkan dikemudian hari adalah buah dari kehidupan dan pilihan yang kita buat hari ini. Silahkan menjadi tua, jiwa dan raga anda. Silahkan anda mendewasa dengan cara anda sendiri. Namun harus anda ketahui bahwa banyak cara untuk mendewasa tidak melulu hanya berdasarkan pakem yang berlaku di masyarakat banal ini.
Lalu salahkah jika seorang manusia menua, dan mendewasa, namun tidak berjiwa muda?? Tidak. tidak salah dengan hal itu, karena ukuran benar salah hanya ada pada unsur pertama dan kedua. Menjadi tidak tua? berarti ada yang salah dengan struktur biologisnya, cacat! Menjadi tidak dewasa? ini salah total, selamanya bersikap layaknya anak-anak. orang seperti ini ga layak punya keturunan. Berjiwa muda? hal ini hanya akan mempengaruhi kadar "keasyikan" hidup anda dan bagaimana orang-orang disekeliling anda memandang anda. Tidak berjiwa muda it's oke.. silakan, tapi menurut saya hal itu tidak asik karena sangat biasa, dan mungkin anak cucu kita akan bosan sama kakek neneknya. Namun orang tua yang berjiwa muda adalah makhluk langka yang keberadaannya akan selalu dicari dan dinantikan.
Mendewasalah dan perluas khasanah kehidupan anda, jangan tinggalkan hobi masa muda anda hanya karena alasan menjadi dewasa, karena hal itu akan sangat berguna bagi pergaulan anda dengan anak anda kelak. Dan satu lagi, jangan biarkan gunung-gunung di Indonesia hanya dijelajahi oleh manula-manula bule asing, pertanyaan yang timbul adalah kemana para manula-manula pribumi berada??? duduk di teras sambil minum teh dan gorengan sambil dengan congkak dan bangganya bercerita pada anak cucunya, "dulu saya pernah mendaki" , "tahun segini saya bisa finis ikut lomba...", percayalah akan lebih menarik dan memberi teladan bagi cucu kita kelak jika mereka mendengar "minggu lalu kakek baru ikut lomba olympic triathlon dan finish di urutan 123" atau "besok nenek mau naik gunung rinjani 4 hari, mau ikut??" terdengar jauh lebih bagus kan. satu lagi, berjiwa muda ga harus memakai ukuran aktifitas fisik kok, cuma disini saya kebetulan menggunakan variabel kegiatan fisik aja sebagai salah satu contohnya. Definisikan jiwa muda menurut diri kita masing-masing, dan pertahankan hal itu.
Tua itu Pasti
Dewasa itu Harus
Berjiwa Muda itu Pilihan
PS. Saya pun masih berjuang untuk mewujudkannya.